Lelaki berbaju biru itu

Senin, 26 Oktober 2009


Langit kelabu, suasana pagi yang masih mengembun. Rona-rona merah matahari berayun-ayun menepi. Aku berdiri di separoh jalan tepian, menyaksikan keributan dan kegaduhan suasana awal hari yang suram. Air muka dan mataku mengembun pagi ini, merah dan bauran emosi dipikiranku. Gejolak peluru merah menumbus rusukku, sakit sedih mengharu biru. Menghitam kepulan asap dari knalpot, sehitam lebam hatiku yang sedih akhir pekan ini. Ku peranjatkan mata, saat melihat seorang tukang koran itu. Baju biru, lusuh abu-abu pekat. Bercak-bercak coklat kelam dari kulitnya menandakan hidupnya yang juga pilu sepertiku. Sandal jepit karet mengelupas, semu tak melindungi kedua kakinya dari sengatan mentari maupun arum terjal panasnya aspal. Kubaca gerak-gerik gesture tubuhnya, lincah, gesit, penuh semangat namun terlihat letih di balik kelopak matanya. Ya, mata coklatnya yang berembun itu.
Pagi ini aku menuju tempat rutinitasku. Ya kampus itu, kampus jaket biru. Berada di tengah kota dan hiruk pikuknya deru modernisasi. Tapi, itu tidak buatku, menurutku itu sebuah jendela yang membawaku ke dunia lain yang tak ku harapkan. Ke jalan cerita yang tak pernah ku tulis dan ku rencanakan. Tak ada dalam peta hidupku, tak ada dalam denah jalanku yang dulu.
Ku kubur mimpiku menjadi seorang guru seperti ibuku. Nyatanya ku gantikan semua itu dengan cita-cita baru yang ku geluti kini. Ku lakukan dengan separoh hati dan setengah jalan. Semua itu karenanya, asanya dan patokan-patokan pemikiran yang klasik menurutku. Ya, beliau saudara jauh ibuku yang menggantikan posisinya. Posisi yang sampai ujung waktu pun tak kan pernah terganti. Aku sekarang bergelut dengan sinyal-sinyal, pasal-pasal, hukum-hukum aturan dan hafalan tentang kehidupan di masyarakat. Sebuah profesi yang banyak membutuhkan tantangan dan sulitnya tuk berdiri sendiri tanpa berlaku kotor. Mungkin itu anggapanku tentang kegiatanku kini, seorang mahasiswi yang akan menjadi calon pengacara. Identik dengan pikiranku yang terlalu negatif tentang itu. Hidup memang tak adil, semuanya hanya menjadi penjara baruku kini.
Masih tergiang, aku marah, merajuk dan tak senang atas pilihan itu. Pilihan yang di atur dan susun rapi seperti domino untuk hidupku. Mungkin sampai hari ini aku tak pernah ramah dan tersenyum pada dirinya. Emosi membakar dan menyelubungi rasa terima kasihku untuknya. Tak ada sedikit pun aku bersyukur, atas aturan dan pilihan beliau. Ya, dia saudara jauh ibuku itu, hingga sampai pagi ini pun aku tetap sama dengannya bertengkar, marah dan saling menghardik. Entah kapan ku akhiri permusuhanku dengannya, dengan orang yang sekarang selalu menjaga dan merawatku itu. Dia adalah tanteku seseorang yang dari lubuk hatiku mungkin aku sayangi.
Tak lama aku tersadar, dari lamunan dan kelamnya banyangan yang menyedihkan itu. Tampak terlihat dari jauh, aku memperhatikan lagi penjual koran itu. Wajahnya tak asing, ku rasa aku pernah mengenalnya namun entah dimana. Topi bundar yang melingkari kepalanya dan sedikit mengalihkan pandanganku. Mencari raut muka yang jelas agar ku yakin bahwa dia adalah sebagian dari hidupku. Tapi ego dan sedihku melenyapkan sebagian memori dan kenanganku. Membekaskan kepenatan begitu berat di otakku. Miris kepala dan pikiranku berusaha mengingat, menerawangi otak-otak sarafku dan lempengan-lempengan halus butiran pikiranku mendeteksi, mencari kutub-kutub yang serasi, menemukan ingatan-ingatan yang nyata. Tapi, semua sama, tetap pikiran kosong dan ku tak tahu siapa dia.
Masih kuperhatikan ia, detik menit berlalu, sambil aku masih berdiri di tepi jalan raya itu. Menunggu jemputanku menuju kampus tercinta dan belenggu cita-citaku. Tak terasa dalam sepersekian menit lamunanku. Akhirnya ku lihat ia mendekat. Ya laki-laki itu, yang sebaya denganku dan kurasa tingginya sama denganku. Ia membawa lembaran koran dan meneriaki pengguna jalan sambil tersenyum. Menawarkan kertas yang digenggamannya. Tumpukan kertas yang menjadi tumpuan hidupnya. Koran-koran apik berwarna putih abu-abu yang tak berarti kelabu.
Sekarang ia berdiri didepanku, masih dengan baju biru yang kelabu itu. Setelah ia melintasi beberapa pengguna jalan, melewati liku-liku jalan yang tak pernah sepi disaat jam sibuk. Melintasi aspal yang panas dan hitam itu. Tak berapa lama aku melihat wajahnya, tapi sebelum sempat aku melihat raut mukanya dan tahu siapa dia. Ia memutar arah, menuju arah jarum jam yang berbeda dengan tempat dimana aku berdiri. Tak kuasa dan tak hanya diam, aku mencoba menyuarakan. Aku memanggilnya, ‘hei, mas’ tunggu!! Seruku. Namun ia tak perduli. Deru langkahnya tak berhenti, memacu langkahku untuk tetap melaju dan mengejarnya. Tapi, ia tetap berlari menembus keramaian dan melintasi trotoar yang ramai itu. Aku tetap mengikuti jejaknya namun, sejenak nafasku terengah. Aku hampir tak bernafas mengejarnya, langkah kecilku berhenti dan melihatnya hilang dalam ingatan dan tatapan
* * *
Rintihan waktu terus bergulir, tapi aku tetap berpikir. Siapa dia? Ya laki-laki berbaju biru. Si penjual koran kelabu. Ia menari-nari di otakku, berpijar dan berbinar di relung batinku. Siapakah dia? Dia laki-laki yang berbaju biru yang selalu berputar di otakku. Mengapa ia pergi dan menjauh, mengapa ia menghilang??? Sepanjang perjalanan waktu ini aku masih mengingat, ribuan langkah t’lah terlewati. Banyak waktu yang telah terganti. Hari demi hari, hingga pagi ini. Semua terulang lagi. Aku melihatnya lagi. Ia duduk di pinggir jalan, di sebuah kursi pemberhentian. Ditepi jalan, di trotoar hitam putih itu. Perlahan aku melangkah, mendekatinya dan bersembunyi dibalik langkahku. Langkah sepatuku yang tak berdetak itu melewati trotoar dan ramainya jalan.
Aku sekarang duduk disebelahnya, tapi ia tetap diam. Merunduk dan memperhatikan lekukan semen trotoar. Ia tak menyadari aku disebelahnya, tapi aku tahu sekarang aku disampingnya. Didekat seorang laki-laki yang mengisi ribuan otakku bermalam-malam lalu. Laki-laki penjual koran yang berbaju biru itu. Tapi, aku juga tahu air mukanya sedih. Matanya berembun dan batinnya terluka.
Jangan pergi lagi dariku, aku tahu sejarahnya, aku tahu sekarang sudut detilnya. Aku tahu semuanya. Mendengar itu, ia terkejut. Raut mukanya berubah kelam dan makin mendayu. Tapi, kini ia tidak bergerak. Air mukanya jatuh dan membasahi pipi pucatnya itu. Terlihat semburan kesedihan yang bergejolak besar, yang saat ini berbaur dan menjadi satu. Kurasa kakinya membeku sore itu, hingga ia tak mampu lagi berlari dan menjauh dariku.
“Maafkan aku Mila”, ucapnya lembut.
“Tak ada apapun lagi kini, semua sudah berlalu. Terlukis dalam koran itu juga kala itu. Sama dan mungkin berulang, tapi semua takkan mengembalikan apapun” ucapku renyah.
Air mata hanya yang ada. Mengitari dan menghiasi ucapannya.
Tapi, aku marah. Berang dan gusar. Mendelik aku menatap matanya, sambil aku tetap bercerita dan berkisah. Membuat air matanya terus mengalir.
Ya, semua karena sejarah itu. Malam-malam kelam setelah kepergian cahaya hidupku. Aku kehilangan arah, jalur dan kompas hidupku. Juli 4 tahun lalu, menyedihkan, menyisahkan sayatan dan luka mendalam disini. Di kedua rongga dada dan batinku, tepatnya di pusat otak semangat dan pikiranku. Masih dalam ingatan, saat hari terakhir kami mengantarnya di peristirahatan terakhirnya. Di tempat belenggu biru, di peraduan dan persimpangan terakhirnya. Di bawah awan-awan hitam yang menjulang pepohonan yang rindang dan hijaunya rerumputan. Ya, disana di makam yang berpetak-petak itu. Sebuah batu yang berdiri sendiri, ditemani bunga-bunga mewangi dan prasasti namanya. Tangisan menderu disebelahnya, disamping gundukan dan tumpukan tanah merah yang basah itu. Ya nama ibuku yang tertulis di batu nisan itu. Jika saja kau tidak membawanya pergi dan jika saja kau menuruti keinginanku. Hingga kini mungkin aku masih melihat senyum mukanya. Senyum ibuku yang menenangkan.
Ia, menangis perlahan, cucuran air embun mata mengairi, melewati liku-liku air mukanya. “Aku memang Dimas”, ucapnya. “Dimas yang dulu selalu bersamamu, Dimas yang mengukir hampir di setiap detik waktumu, Dimas temanmnu, Dimas cintamu dan Dimas yang kau benci. Dimas yang menghancurkan hidupmu”, tuturnya halus dan serak beradu dengan alunan kebisingan sore itu.
Aku, terdiam mendengar ucapannya. Menyayat hatiku melihat orang yang kukasihi menyalahkan dirinya, dan ku rasa itu juga menghancurkan hidupnya.
Aku tahu kecelakaan mobil 4 tahun silam, antara dirinya dan ibuku tercinta mengubah segalanya. Malam kelabu saat ia pergi bersama ibuku, yang mengukir derita. Saat itu dia dan bersama ibuku hendak menemuiku ditempat yang berbeda, dan akhirnya membawa ibuku ke tempat yang berbeda pula. Naif memang, terkadang aku menyadari itu bukan salahnya. Aku sadar sepenuhnya semua telah dituliskan, ya dituliskan ditangan ibuku. Memang seharusnya begitu, dan sesuai jalur yang dipetakan. Garis takdir yang memang berlalu di jalan sebagaimana mestinya.
Tapi, semenjak aku kehilangan dia. Membuat aku membencinya, menghardiknya, dan ingin rasanya aku pun membunuhnya. Membunuh namanya dalam hidupku. Saat aku melihat ibuku pergi, ia pun pergi. Tak ada sama sekali aku tahu ia dimana, tak seorang pun tahu. Tapi, yang aku tahu ia bersedih dan menghilang sehingga aku berpikir ia berkhianat. Aku merasa ia yang harus bertanggung jawab atas itu, karena mungkin dia merasa bersalah dan menghilang dari hidupku.
“Maaf pun tak ada gunanya Dimas,” ucapku berlalu.
Tapi, ia hanya menangis. Menunduk dan jatuh lebih dalam kesedihannya.
Mungkin memang tak ada maaf untuknya. Aku pun berlalu meninggalnya dan melupakannya. Menghapusnya dalam ingatanku hinga kini. Menguburnya dan mengirim namanya ke tempat lain yang tak mungkin ku temukan, hingga akhirnya aku mampu memperbaiki hidupku karenanya.
Luka disni masih ada ternyata. Saat ibu pergi, aku benar-benar sendiri. Tanpa dirinya maupun tanpa 1 senyuman dibibir tipisku hingga kini. Karenanya aku tinggal bersama saudara jauh ibuku. Ia yang menjagaku, membimbingku, mengaturku, dan memilihkan jalan hidupku. Mengubah segala detil diriku menjadi kehendaknya, dan menguasai hidupku. Menggantikan semua yang berwarna-warna menjadi kelabu tanpa lagu ceria sedikit pun. Mengukirkan molekul-molekul kehidupan yang suram, menggariskan luka-luka dan mengubur mimpi dan asaku. Keinginanku untuk menjadi seorang yang ceria dan berharga, menjadi seorang pemimpi yang berjaya. Dan kini aku seperti upik abu, seperti boneka dalam bingkai.
Lama aku menjalani hidup suramku, ya semua itu karena Dimas. Sahabat kecilku, teman kecilku dan juga menjadi kekasihku kala itu, mengubah petak-petak hidupku. Tapi, tak ayal aku pun menyesal. Menyalahkannya, dan menghardiknya bukan pikiran yang bijak, hingga kini aku tahu. Ternyata, setelah ibuku pergi. Ia menghilang dan aku tak pernah tahu lagi kabarnya. Kini aku baru tahu ternyata, tak lama beberapa tahun setelah itu ia kehilangan orang yang dikasihinya pula. Pada malam tragedi yang membawa anggota keluarganya, peristiwa kebakaran membuat malam-malam Dimas menjadi biru, dingin dan sepi. Hingga akhirnya membuatnya jatuh terpuruk ditepi jalan dan menjadi seorang penjual koran.
Menangis hariku jika ku ingat, mimpi janji dan cita-cita kami yang tak pernah terjadi. Di taman dulu kami tertawa, bercerita tentang mimpi dan harapan itu. Sebijaknya aku harus bersyukur dengan hidupku kini, aku masih bisa menyelesaikan S1 ku, merasakan bangku kuliah yang tak pernah ku syukuri. Berbeda dengan Dimas yang mengukir hidupnya dengan hidup mandiri, sendiri dan sepi. Seharusnya kata maaf itu bukan darinya, tapi dari bibir tipisku ini.
“Maaf Dimas, dan cobalah tersenyum untukku satu kali saja”. Satu kata yang selalu ku simpan dihatiku untukknya. Ya dia, lelaki yang berbaju biru itu.(arin)

*TAMAT