Cerpen

Rabu, 14 Oktober 2009


Cintailah Sahabatku itu

Sahabat layaknya matahari
yang menjadi sumber energi bagi kehidupan
Mita menuliskan kata-kata mutiara yang ia ciptakan sendiri diatas secarik kertas biru terbuat dari bahan karton tebal dan ia letakkan dalam sebuah buku catatannya. Cewek cantik berambut keriting dan berkulit sawo matang itu duduk disudut dekat pohon di salah satu jajaran kursi yang berderet di taman kampusnya. Suasana kampus siang itu sepi, hanya ada beberapa mahasiswa yang duduk di taman menikmati suasana siang yang mendung dan berangin. Daun-daun kering berguguran di hempas angin semilir. Mita menghela napas panjang sambil menutup bukunya. Tampak kerisauan terpancar dari raut wajahnya. Liku-liku garis wajahnya seolah-olah melambangkan ia memang sedang memiliki masalah.
“Hai Mita apa kabar lo?
Sapa Reza sahabatnya yang sudah beberapa minggu ini tak ia temui. Mita hanya membalas sapaan Reza dengan seyum muram. Tetapi, seyum muram itu sedikit memancarkan cahaya semu, terlihat ada sedikit bahagia terpancar diwajahnya. Mita tetap terdiam, sementara Reza duduk disebelahnya terus memperhatikan perubahan sikap sahabatnya beberapa minggu ini.
“Kenapa lo akhir-akhir ini jadi aneh sih?” tanya Reza sambil memberikan seyum manis pada sahabatnya ini.
“Setiap kali aku sms nggak pernah dibales, terus telpon aku nggak pernah diangkat.”
“Lagi sibuk ya? Banyak tugas dari dosen atau lagi sibuk sama kegiatan tari lo?”
“Wah! Kalo gitu sekarang lagi banyak job ya? Boleh nih, nraktir gue makan siang di kantin Bu Sri.”
“Gue nggak apa-apa kok” jawab Mita singkat.
“Ya, elo jawabnya gitu aja.”
Melihat sahabatnya murung Reza tidak mau bertanya macam-macam lagi. Kemudian ia menceritakan sebuah cerita lucu mengenai kancil dan kura-kura dalam versinya sendiri dan itu hanya membuat simpul senyum terukir dibibir Mita. Ia hanya mendengarkan dan menatap wajah Reza yang bercerita dengan mengebu-gebu. Mita sedikit terhibur karena ia memang telah lama tidak bertemu sahabatnya yang diam-diam ia sukai. Mita tidak tahu kenapa ia merasa galau akhir-akhir ini. Setelah kembalinya Shely sahabatnya dari luar kota, bukan malah membuatnya senang tetapi malah seperti ini. Semenjak Shely kembali kesini ia sudah jarang bertemu Reza karena Shely selalu mengajak Reza jalan-jalan. Ia selalu meminta bantuan ini dan itu atau hanya sekedar minta anter-jemput kesana kemari. Oleh karena itu beberapa minggu ini Reza sulit sekali ditemui.
“Oh...... iya........ kemarin gue beli kaset VCD Rihana katanya lo suka ma lagu-lagunya lo mau pinjem nggak? Reza menawarkan sebuah kaset dan membuka tasnya mencari-cari. Tas berwarna hitam-kebiruan dan bermotif kotak-kotak kecil di salah satu tepi. Setelah mengacak-ngacak isi tasnya ia menemukan dan memperlihatkan pada Mita. Mita meraihnya dan membaca covernya. Ia berguman didalam hati “huh.. ternyata dia masih inget kalo kemaren aku mencari kaset ini”.
“Emang buat apa sih?”
“Ada deh!”
Reza tidak mau bertanya lagi jika Mita sudah mengatakan hal itu. Ia sudah paham betul karakteristik sobat karibnya yang satu ini. Itu berarti Reza tidak perlu bertanya karena pastinya kaset itu untuk keperluan latihan nari karena selain seorang mahasiswi Mita juga gabung di sanggar tari terkemuka.
Mereka berdua tertawa lepas saat Reza kembali menceritakan cerita lucu yang ia baca di salah satu situs internet. Reza menceritakan dengan gaya ngocol dan lucu, saat ia memperagakan dirinya seolah-olah pingsan dan seketika bangun lagi. Mita merasakan angin segar menerpa wajahnya saat melihat senyum Reza terukir manis dan indah dari bibirnya yang tipis. Ia merasa bahagia bisa bersama sahabatnya lagi. Perasaan gundah dan sedih dalam beberapa minggu ini hilang seketika saat berada didekat orang yang disayanginya.
Tiba-tiba terdengar tawa anak kecil dan ternyata suara itu berasal dari ringtone handphonenya Reza. Mita sudah hapal bahwa nada itu dipakai Reza untuk tanda panggilan masuk di hanphonenya karena Reza tidak pernah mengganti ringtone handphonenya sedangkan untuk nada sms masuk Reza memakai ringtone lagu Nidji Sahabat.
Reza mengangkat telpon dan dari pembicaraan yang didengar Mita yang menelpon adalah Shely. Mita hanya diam ia cuma mendengarkan semua ucapan Reza.
“Mita tepon dari Shely nih” ucap Reza sambil memasukkan handphonenya kedalam sakunya. “Shely ngajak makan siang di kafe Butik Merah deket sini. Katanya sih dia lagi jalan-jalan deket sini. Terus inget kalo kita kuliah di daerah sini makanya dia ngajak ketemu”.
“Oh” jawab Mita.
“Ayo kita kesana, lo bentar lagi nggak ada kuliah kan?”.
“Nggak ah! Aku mau ke perpus aja.”
“Udah, ayo buruan.”
* * *
Reza dan Mita hanya membutuhkan waktu kurang lebih 5 menit agar bisa tiba di kafe yang di maksud. Kafe Butik Merah bernuansa alam dengan tatanan hiasan minimalis, dengan paduan kursi-kursi dari bambu dan meja dari bahan yang sama. Nuansa tenang tercipta dengan alunan musik lembut serta paduan berbagai pigura sederhana dan tanaman-tanaman hias yang ditata rapi di sudut-sudut kafe.
Mita sudah bertemu dengan Shely sahabatnya. Namun ada perasaan aneh dihatinya. Ia merasa bersalah pada Shely karena telah menyukai Reza yang dulu waktu SMA adalah ngebetannya Shely. Mita tidak tahu kapan pastinya ia mulai menyukai Reza, rasa itu ada tanpa ia sadari, karena seiring kebersamaanya dengan Reza sudah berlangsung cukup lama. Setelah lulus SMA ia kuliah bersama Reza di kampus yang sama sedangkan Shely kuliah di luar kota dan tinggal bersama tantenya. Semenjak Shely pindah keluar kota ia memang masih berkomunikasi dengan Shely sama halnya Reza namun komunikasi itu tidak bisa berlangsung lama. Karena perbedaan jarak dan waktu yang cukup jauh dan kesibukan masing-masing maka hanya komunikasi formalitas sebagai teman dan hanya basa-basi untuk sekedar bertanya kabar.
Mita terseyum pada sahabat karibnya itu, ia ingin menceritakan banyak hal pada sahabatnya. Karena dulu saat SMA tidak ada satu hal pun yang tidak mereka ceritakan satu sama lain. Tapi, sekarang Mita tak ingin berkata banyak hal.
Shely tidak berubah dari semenjak SMA maupun hingga saat ia terakhir bertemu kemarin waktu Shely baru datang kesini. Ia tetap cantik ramah dan ceria. Namun dandanan terlihat lebih dewasa dan rapi. Berbeda saat SMA yang terlihat lebih sporty dan energic.
“Hei, Mita lo kemana aja sih? Gue kangen nih! Udah lama kan kita nggak curhat lagi. Terus kenapa sms gue nggak di bales? Gue nelpon kerumah lo nggak ada, kayaknya sibuk bener. Kata Reza lo sibuk kuliah ya?”
Mita menjawab pertanyaan Shely dan mereka ngobrol banyak hal. Shely kembali bernostalgia saat mereka di duduk di bangku SMA. Shely juga menanyakan kabar kedua sahabat mereka yang lain Rena dan Anggi.
“Cie..cie.. lupa nih mau gue, maklum dah ketemu temen lama. Oh..iya.. gue ada sulap mau lihat nggak?”
“Emang lo bisa?” tanya Shely.
“Iya, kok gue nggak tahu , lo bisa sulap” tanya Mita.
“Gue juga baru belajar sih.”
“Oh, pantes” ucap Mita lagi.
“Ya, elo Mita! Matahin semangat gue aja.”
“Yo wess tunjukin sana kalo emang bisa.”
Reza meminta tolong sama pelayan kafe untuk mengambil perlengkapnya. Ia membutuhkan 1 buah gelas dengan piring berukuran kecil yang biasa dipakai untuk tatakan gelas serta 1 batang rokok.
Reza meletakkan gelas diatas meja kemudian ia mulai beratraksi tangannya bergerak lincah bak Deddy Corbuzier. Ia memasukan rokok kedalam gelas dan menutupnya dengan piring kecil. Setelah beberapa lama ia kemudian membuka gelas dan wuss! Seketika keluar asap dari gelas tersebut.
Mita dan Shely kaget. Mereka cukup terkesima melihat aksi Reza yang sekarang udah jadi Demian sang ilusionist, sambil terseyum bangga Reza nyengir menunjukan kebolehannya.
Handphone Shely berdering, dengan cepat ia langsung mengangkatnya.
“Ya, Doni kenapa?”
“Iya-iya, nanti gue hubungin lo lagi terus kita bicarain lagi pas gue balik kesana” ucap Shely dan menutup handphone kesayangannya yang berwarna pink kehitam-hitaman.
“Siapa Shely?’ tanya Reza.
“Doni” jawab Shely singkat yang membuat suasana hening.
“Oh.iya… lo kapan pulang ke Bandung, Shely?” tanya Mita memecah kesunyian.
“Gue nggak mau balik kesana, karena gue lebih suka disini. Disini gue punya temen-temen yang gue sayangi dan ada juga keluarga gue yang selalu sayang sama aku. Tapi, mama tetep maksa buat aku ngelanjutin kuliah disana. Sebenarnya tahun ini aku ada rencana mau masuk IKJ biar bisa satu kampus sama kalian.
“Eh…. Shel, gue mau balik dulu ke kampus nih. Gue ada kuliah bentar lagi” ujar Mita sambil cepat-cepat menghabiskan minumannya.
“Gue, juga ya Shely, gue mau cari buku di perpustakaan buat ngerjain tugas”.
“Bener lo mau balik juga?”
“Iya” jawab Reza datar.
Setelah beberapa menit, Reza dan Mita keluar dari kafe. Mereka berjalan menuju kampus.
“Oh… iya.. gue baru inget. Kemarin Rangga nanyain lo, Mita. Dia nanya lo udah punya pacar apa belom?” pertanyaan ini membuat Mita terkejut. Kenapa disaat-saat seperti ini Reza memberitahukan hal ini.
“Kok, dia nanya gitu?” tanya Mita bingung.
“Aduh… Mita, lo tuh lugu banget ya? Rangga tuh udah lama naksir sama lo. Tapi, dia takut ngedeketin lo. Dia kira lo udah punya pacar. Tapi, ngomong-ngomong menurut lo dia gimana? Keren nggak?
“Rangga temen sekelas lo itu. Yang gayanya rada selengean gitu?”
“Wuih…..! jangan salah lo, sinting-sinting kayak gitu dia baik. Nggak kayak Felix mantan pacar lo yang ninggalin lo gitu aja” satu lagi ucapan Reza yang membuat Mita terkejut. Sudah lama nama itu tak disebut, sejak orangnya lenyap dan hilang ditelan bumi.
“Iya….iya… menurut gue dia baik dan ramah. Asyik juga kalo diajak ngobrol terus yang jelas dia jauh lebih cakep dari lo”.
“Eitss… jangan salah lo, gue kan jauh lebih ganteng.
“He..he…he…. Percaya diri amat lo, ngaca dulu tuh dirumah gue ada kaca yang gede. Oh.. iya…. Ngomong-ngomong lo seneng nggak kalo Shely kuliah bareng kita?”
“Kalo lo gimana?” Reza balik bertanya.
“Ya, senenglah. Dia kan temen gue.
“Gue juga seneng Shely kan juga temen gue”.
“Cie..cie… ngaku aja lo seneng kan?’
“Napa, lo cemburu ya?” pertanyaan ini membuat hati Mita mencelos, ia sekali lagi terkejut. Ada perasaan yang menginginkan ia menjawab iya. Tetapi dia tidak akan sanggup mengatakan hal itu.
“Wuih…….! Siapa yang cemburu, pede banget sih lo?”.
“Oh.. iya.. nih, lihat foto kami berempat. Ini foto kami pas masih kelas satu SMA. Ini aku, Shely yang tetap cantik sampai sekarang, disebelahnya Anggi dan satunya lagi Rena dan ini gue. Gue tetap manis ya sampai sekarang?” ucap Mita narsis.
“Ha.ha… Pede banget si lo!”.
“Iya.. iya…. Emang Shely yang paling cantik. Gue ngerti kok, lo pasti masih suka sama dia.
Reza hanya diam mendengar ucapan Mita.
“Kalo lo emang suka sama dia cintailah sababatku itu”.
Reza tetap diam dan terus melangkah. Beberapa menit suasana menjadi sunyi, keduanya hanya diam seribu bahasa.
“Reza, gue baru inget. Hebat banget lo tadi, emang belajar sulap di mana?” tanya Mita yang memulai pembicaraan dengan tema yang berbeda. Karena suasana sunyi seperti tadi membuat keadaan semakin tak mengenakan.
“Oh.. itu…. Tapi, jangan kasi tau siapa-siapa ya rahasianya. Karena lo orang yang paling gue percaya, ya gue kasi tahu. Tapi, janji jangan lo bocorin rahasianya, nanti bukan sulap lagi.
“Iya, gue janji” jawab Mita.
“Lo inget nggak pas kemaren kita ngeliat mbak Siska ngerjain tugas prakteknnya. Dari sana aku tahu kalo campuran ammoniak dan hydrochloric yang diletakkan di ruangan tertutup bisa menghasilkan asap. Nah, aku coba aja, dan ternyata bisa. Aku masukin aja ke dua bahan itu ke dalam gelas dan kemudian ditutup rapat secara diam-diam. Terus ada batang rokok yang mengalihkan perhatian. Biar kelihatan tambah menyakinkan gitu”.
“Oh…. gitu, lo pinter juga ya”.
“Ya, iyalah!” ucap Reza bangga.
“Pinter ngibulin orang” tambah Mita sambil tersenyum
* * *
Saat ini jam menunjukan pukul 4 sore, Mita ia berdiri di depan gerbang kampus. Suasana kampus yang masih cukup ramai walaupun hari sudah sore, suasana kampus semakin berisik. Apalagi hiruk-pikuk daerah perkotaan yang menyesakkan nafas. Reza muncul dari kejauhan dan langsung menghampiri Mita.
“Mita, ntar malem gue kerumah lo ya. Udah lama gue nggak main catur ma bokap lo” ucap Reza.
“Boleh aja, tapi nggak tahu mungkin nanti malem ayah gue sibuk jadi kayaknya nggak bisa”.
“Oh…!” ujar Reza datar.
“Hai, bro!” sapa seorang cowok yang datang sambil menepuk pundak Reza. “Lo jadi kan nanti mo mampir kerumah Mamat buat ngerjain tugas kelompok kita yang belom selesai?”.
Reza bengong, ia berusaha mengingat apakah ia memang berjanji demikian.
“Hai Mita! gue Rangga masih inget kan?”
“Iya, Cinta masih inget kok!” ucap Mita sambil terseyum.
“Ya ampun Mita, lo kira ini film Ada Apa dengan Cinta kali” ucap Reza menimpali.
Rangga nyengir sepertinya ia suka mendengar jawaban Mita. Wajah Rangga yang putih bersih dan tubuhnya yang tinggi dan berisi membuatnya memang seperti Nicholas Saputra namun perbedaannya hanya rambut Rangga yang lurus dan panjang. Rangga versi ini memakai mode rambut poni lempar yang lagi tren saat ini.
“Mita mau nggak kalo lo gue anterin, kan kasian lo balik sendiri. Reza mau ke rumah Mamat jadi nggak apa-apa ya kalo pulang bareng gue?”
“Sebenarnya gue mau aja, tapi kayaknya nggak usah nanti ngerepotin”.
“Nggak kok, gue nggak ngerasa direpotin”.
Reza bingung, ia merasa tidak punya janji dengan Mamat teman sekelasnya. Tapi, saat melihat isyarat Rangga. Ia baru sadar kalo Rangga memang ingin PDKT sama Mita. Ia hanya memperhatikan dari jauh saat Rangga dan Mita pergi.

* * *
Besok paginya Rangga dan Reza duduk di kelas, mereka sedang menunggu dosen. Pagi ini mereka datang tepat waktu karena tidak mau mencari masalah dengan dosen killer.
“Eja, tipe cowok yang Mita suka seperti apa sih?”
“Nggak tahu, kenapa lo nggak nanya sendiri?”
“Iya, sih. Gue emang mau nanya tapi nanti dulu ah!. Oh..iya… Lo tahu nggak kemaren pas gue nganterin dia kerumah ternyata Mita tuh ramah dan asyik juga. Terus keluarganya juga bersahabat gitu. Gue aja kemaren di ajak bokapnya main catur, terus nyokapnya juga masakin gue kroket kentang.
“Oh… gitu, bukannya kata Mita ayahnya sibuk?” tapi lo beruntung banget ya. Tahu nggak kalo gue kesana ibunya malah nyuruh gue bikin minuman sendiri. Bokapnya juga udah jarang main catur ma gue, paling-paling si Dito adiknya yang ngajak main kelereng atau perang-perangan. Terus kalo nggak tuh si Syntia sepupunya yang minta bantuin ngerjain PR”.
“Ya, itu emang nasib lo kali. Gara-gara itu gue jadi nambah demen sama Mita, Eja”. Terus gue yakin banget pasti Mita juga suka sama gue”.
“Ya, udah kalo gitu cintailah dan sayangilah sahabat gue itu. Tapi, lo janji sama gue lo harus serius sama dia”. Eh.. iya.. nanti kita makan dikantin ya, ajak Mita juga. Tapi, tenang aja nanti gue yang traktir.
“Wiuh! Serius lo?”
“Iya”.
“Tapi, maaf ya gue sudah janji makan sama temen gue”.
Itu kata-kata terakhir yang bisa di ucapkan Rangga, karena dosen yang mereka tunggu-tunggu sudah datang.

* * *
Reza bosan sekali siang ini, setelah makan dikantin sendiri ia jalan-jalan sendiri di mall. Ia berjalan tak tentu arah, ia hanya berkeliling dan berhenti saat ada barang yang menarik perhatiannya. Reza sudah beberapa kali menghubungi Mita dan Rangga, namun handphonenya Mita mail-box sedangkan Rangga nggak diangkat dan sekali diangkat direject. Reza juga sudah menelpon kerumah Mita, tapi kata ibunya Mita belum pulang.
“Mereka kemana ya? Apa mereka lagi nge-date ya?” tanya Reza dalam hati. Pikirannya melayang ia memikirkan beberapa kemungkinan keberadaan mereka berdua. Reza merasa sedih, ia baru sadar bahwa hari ini tepat tanggal 22 Mei yang merupakan hari ulang tahunnya. Ia merasa kecewa pada kedua sahabatnya.
“Reza” panggil Shely yang tiba-tiba muncul. “Ngapain lo disini sendirian?”
“Nggak kok, gue lagi bosen aja makanya gue jalan-jalan. Eh… lo ada waktunya tememnin gue makan yuk!”
“Aduh, nggak bisa mending lo temenin gue belanja. Gue mau beli baju kemeja nih”.
“Ya, udah nggak apa-apa gue bosen jalan sendirian” ucap Reza kemudian mereka berjalan menuju butik yang ada didekat restoran fast-food yang lekatnya tidak jauh mereka berdiri.
Shely memilih beberapa kemaja ia mencocokkan kemeja itu pada Reza. Reza hanya memperhatikan ia tidak tahu untuk siapa Shely membeli kemeja pria ini. Setelah lama memilih Shely membeli 2 buah kemeja. Mereka berjalan berkeliling mall mencari kemeja yang diinginkan Shely.
“Kalo boleh tahu kemeja itu buat siapa?”tanya Reza yang dari tadi penasaran.
“Buat lo” jawab Shely sambil mengambil bungkusan dari pelayan toko.
Kemudian mereka berjalan melangkah keluar.
“Ah.. yang bener nih?’ Terus yang satunya lagi untuk siapa?”
“Yang ini buat Doni”.
“Oh.. Doni, ucap Reza sambil mengganguk. Cowok yang nelpon lo pas kita makan bareng kemaren.
“Iya, tapi ini gue ada hadiah buat lo” ucap Shely sambil menyodorkan bungkusan itu.
“Selamat ulang tahun ya!” ucap Shely lagi sambil terseyum. Namun ucapan Shely ini membuat Reza terkejut. Reza hanya diam ia bingung apa yang harus ia katakan.
“Maaf ya, gue nggak inget ulang tahun lo. Tadi pagi gue dapet sms dari Mita katanya lo ulang tahun dan gue disuruh kerumah lo malam ini. Tapi, gue bingung kenapa lo ada disini?” Makanya gue kaget pas ketemu lo tadi, emang acaranya gak jadi ya? Rencananya tadi pas udah beli kado gue mau langsung kesana, tapi…….
“Tunggu sebentar” Reza memotong ucapan Shely dan mengambil handphone disakunya. Ia melihat jam dan sekarang menunjukan pukul 08.45. Ia melihat ada beberapa sms dari Mita yang belum ia baca. Reza terkejut melihat beberapa sms dari Mita dan ada juga dari Rangga. Ia baru sadar bahwa sejak dari tadi pagi dikelas ia men-sillent-kan handphonenya. “Gak ada suara dan gak ada getaran”. Jadi ia tidak menyadari bahwa ada beberapa sms baru yang masuk dan beberapa panggilan tak terjawab waktu ia jalan bareng Shely tadi.
Isi sms pertama dari Kak Randi yang menyuruhnya segera pulang karena ada masalah yang penting dan mendesak. Selanjutnya panggilan tak terjawab dari Mita dan Rangga yang tak terhitung jumlahnya.
Tanpa berpikir apapun lagi Reza segera bergegas. Ia turun dengan escalator dan menuju tempat parkir. Reza menghidupkan motornya dan langsung meluncur kerumahnya.

* * *

Reza berdiri di depan rumahnya, suasana sepi dan ia melirik jam bermerek Seiko itu yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu menunjukan pukul 10.06 menit, dengan langkah terengah-engah ia mengetuk pintu.
Pintu terbuka dan ada Kak Randi yang berpakaian setengah rapi dan terlihat sangat ngantuk dan lelah.
“Kamu kemana aja sih?’ tadi temen-temen kamu disini, mereka nyiapin pesta buat ngerayain ulang tahun kamu. Kasian tuh Mita, Rangga, Anggi, Rena, Taufik, Damar, Diska dan Maya kayaknya mereka kecewa banget sama kamu.
“Terus mereka kemana?”
“Sudah pulang, kamu sih sudah di tungguin dari tadi. Di telpon nggak diangkat-angkat. Udah sana dimakan kuenya terus tidur sudah malem.
“Iya, aku baru baca smsnya terus langsung pulang. Tapi, tadi aku kena macet”. Kak aku ke rumah Mita ya malam ini.
“Sudah besok pagi aja, besok kan hari minggu. Nggak enak ganggu orang tidur. Oh… iya… itu ada kado dari Mita, pasti kamu mau buka yang itu dulu kan” ucap Kak. Randi sambil menunjuk kado yang terletak di dekat kue.
Reza mengambil bungkusan itu dan membukanya. Kado itu berisi sebuah topi dan berupa kartu ucapan berwarna biru. Kartu itu berisi ucapan selamat ulang tahun dan tulisan :
“Jadilah seperti topi yang selalu melindungiku dari panasnya mentari”
Kemudian Reza mengambil handphone dan mencoba menghubungi Mita. Namun setelah terdengar nada tut…..tut….. berkali-kali bukan nada tunggu lagu J-Rock-Ceria yang terdengar saat ia menelpon Rangga. Nada itu masih tetap sama, tut….tut…….tut…. dan akhirnya………
Ternyata hasilnya nihil, tidak ada jawaban dari Mita.
“Duh…….. dia marah atau sudah tidur?” tanya Reza dalam hati. Saat ini ia masih berdiri di ruang tamu. Ia berpikir sambil memperhatikan hasil dekorasi yang dibuat teman-temannya.
“Sudah jangan dicoba lagi, mungkin dia sudah tidur” hibur Kak Randi yang melihat adiknya mondar-mandir kesana kemari.
Cukup lama Reza terus mencoba menghubungi Mita dan akhirnya.
“Mita, maafin gue ya” ucap Reza saat berhasil menghubungi Mita.
“Sebenernya gue marah sama lo?” tapi ngak bisa. Maaf ya baru diangkat. Gue tadi diberanda jendela ngeliatin bintang orion berjajar 3. Jadi gue nggak bisa marah”.
“Iya, seperti kata lo, kalo kita melihat bintang seperti melihat sinaran pancaran kebahagiaan”.
“Eh….. lo masih inget aja” ucap Mita.
1 pancaran sinar bintang
Mengukir kebahagian
Dan saat kita melihat bintang
Kita bisa melihat 1 seyum manismu
Itulah syair yang mereka ucapkan.
“ Iya, gue nggak lupa”.
“Eh.. iya..tapi tadi lo kemana?” tanya Mita lagi.
Reza terdiam, namun dengan tegas ia menajawab. “Gue tadi bareng Shely”.
Mita tak berbicara lagi. Namun Reza melanjutkan ucapannya.
“Makasih ya Mita atas kadonya dan izinkanlah aku menjadi sebuah topi yang akan selalu melindungimu dari teriknya matahari”.
Mita menghela nafas selanjutnya ia berkata “Iya, aku mengizinkannya namun berjanjilah………
Berjanjilah…….. untuk tidak menyuruhku mencintai sahabatmu” ucap Mita dengan perlahan namun perkataan itu dapat didengar jelas oleh Reza.
Iya, jawab Reza.
Satu hal lagi, berjanjilah untuk tetap bersamaku walaupun hanya sebagai sahabatmu.
Iya, aku berjanji’ jawab Reza lalu menutup telponnya.
Tamat

CERPEN



Sisa Molekul HARKITNAS

Satrio Aris Munandar, satu nama yang selalu ku ingat. Malam kelam dan angin berhembus syahdu seiring lambaian dan ucapan semoga lekas sembuh. Itulah satu kenangan terakhirku dengannya. Kurasa ada banyak perubahan darinya kala itu, senyumnya tak semanis dan secerah dulu saat remaja. Stres, kerja keras dan keringat telah mengubah semua. Mengubahnya menjadi seseorang yang kaku, serius dan tak berdaya. Sekarang dia hanya menjadi seorang pegawai disebuah perusahaan kecil Tapi dulu ia adalah sesorang yang selalu ku dambakan dan ku pikirkan, seseorang yang mengisi relung hatiku yang terdalam. Awan kelam yang disinari cahaya lembut bulan. Pikiran dan otakku merenung saat itu, takut akan kehilangan dan kesepian. Tiada lagi senyuman yang ia berikan dulul. Kenangan yang biru dan indah, membahasi hati dan pikiran. Masih lekang di otakku hingga kini, saat pertama kali aku bertemu dengannya kala itu. Dahulu, saat aku berseragam abu-abu dan kala aku masih belia, masih hendak berkembang dan mencari jalan baru. Tepat di pagi hari itu cerah bercahaya, lalu lintas padat dan ramai dengan celoteh riang kernet bus, aku beserta ke empat sahabatku. Kami hendak menuju Dinas Informasi dan Komunikasi, dengan sedikit tersesat hingga kami harus berjalan kaki. Sampai akhirnya kami temukan tempat yang paling bersejarah dalam hidupku.
Tanggal 24 Mei 2006, saat aku duduk di aula sambil menghapal teks naskah Pembukaan UUD 1945 didalam hati. Kurasakan ada yang berbeda, ada yang tak biasa. Tak nyaman, pikiranku tak fokus tapi aku mencoba berkonsentrasi. Pagi ini aku mengikuti lomba Pengucapan Teks Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 memperingati Hari Kebangkitan Nasional yang jatuh 20 Mei lalu. Bersejarah memang buatku, karena ku alami pengalaman yang mengajariku untuk selalu belajar dengan gigih dan kerja keras. Menghapal teks mungkin mudah, tapi untuk tetap berkonsentrasi dan mengucapkan intonasi, artikulasi dan segala macamnya itu cukup sulit. Mengucapkan dengan sempurna dengan gesture yang apik dan tegas.
Disudut sana ada seseorang yang memperhatikanku, sehingga pikiran dan konsentrasiku tak fokus. Tapi aku tak perduli, aku harus gigih dan berjuang. Sebuah wujud kesadaranku bahwa cara ini pula adalah salah satu wujud menyadari kebangkitan nasional dalam diriku. Tuk selalu belajar berjuang dan bersemangat. Bukan hanya sekedar hal-hal besar yang dilakukan orang tangguh diluar sana. Dengan otot dan teriakan mereka saat berorasi.
“Ada apa?” tanya salah satu sahabatku yang menyadari ada sesuatu yang ganjil pada diriku.
“Tak apa, jawabku datar.
“Kau tahu anak yang duduk di sebelah sana selalu memperhatikan kearah kita”, ucap salah satu temanku lagi.
“Oh.... mereka berdua”. Aku tahu mereka tetapi tak begitu akrab.
Aku hanya mendengarkan percakapan kedua sahabatku sambil terus berkonsentrasi.
* * *
Itulah sepenggal kisah kecilku dulu, aku masih ingat dengan jelas. Aku senang dengan perjuanganku aku berhasil mendapat iuara, walaupun hanya juara harapan ketiga. Kemudian anak itulah yang juara pertama, ya dia Satrio Ari Nugroho. Seseorang yang beberapa bulan berikutnya aku dipertemukan lagi dengannya. Aku tahu bagaimana dia, siapa dia dan bagaimana dia. Entah jodoh atau takdir, aku berteman dekat dengan sahabatnya dan timbul berbagai masalah sesudahnya. Membuat masa SMAku benar-benar berharga.
Ku ingat masa itu, saat dia datang ke sekolahku bersama sahabat-sahabatnya. Dulu ada acara resmi disekolahku, yang mengundang beberapa siswa dari perwakilan berbagai SMA. Ada Ario, sahabatnya yang juga begitu akrab denganku. Disinilah semua berawal, saat terjadi salah pernafsiran. Saat ku ketahui, Ario menaruh harapan untukku. Enyah semua dari pikiran ku, dan selanjutnya situasi menjadi tak nyaman. Aku tak bisa memilih Satrio, karena ada Ario di belakangku. Satu hal yang ku ingat ucapannya yang begitu membekas dalam benakku hingga kini. Aku akan bahagia jika kau memang memilihnya.
Semua ini tak benar, berjalan di luar jalur. Tapi, tak berdaya yang bisa kulakukan hanya menghapus sisa molekul cintaku untuknya. Semua itu hanya ganjaran dari 1 lambang yang disebut persahabatan. Tak ayal membuatku jatuh dan terpuruk ini tak adil. Tapi ini benar, sebuah keinginan harapan dan cita terkadang dengan usaha dan kerja keras di raih, tetapi ada kalanya harus direlakan untuk 1 buah lambang kebaikan.
Entah kenapa hingga kini, hingga telah sekian kali peringatan kebangkitan nasional. Aku tetap mengingatnya dan aku ingat kembali ke masa itu. Masa dimana aku belajar pentingnya tujuan, usaha dan keteguhan hati. Mengingatkan aku kembali bahwa ego dan emosi tertahan dan terbelenggu oleh rakitan sisa-sisa kebaikan dan kepentingan lain yang lebih darurat. Sebenarnya aku sadar sejarah diingat bukan hanya tuk sekedar berangan-angan. Tetapi jadikanlah momentum itu sebagai pedoman, sebagai pengalaman tuk menjadi sesorang yang lebih baik. Bukan hanya menjadi katak dalam tempurung yang hanya diam dan tetap di tempat yang sama. Atau hanya sekedar jalan di tempat.
Salah satu nesehat sobatku, kembalilah ke masa kini, ukirlah kenangan dan sejarah baru di hari kebangkitan nasional ini. Jangan hanya terkurung dalam tragedi melankolis manis yang membuatmu hanyut dan tenggelam. Bangkit dan bangunlah molekul-molekul kehidupan baru, yang membawa titik terang dan kecerian. Kuingat memang sisa-sisa molekul Harkitnas waktu itu, yang membimbing dan mengajariku tuk selalu berusaha dan bekerja keras dan berkorban untuk satu tujuan kebaikan.
“Sama halnya dengan bangsa ini, lupakanlah berbagai kenangan dan tragedi, maupun budaya atau sikap yang hanya mengikis dan memperburuk masa ini. Galilah hanya sisa molekul yang berwarna positif yang membawa keagungan. Namun, jika hanya mengenang tanpa pergerakan semua hanya seperti rumah tak bertuan. Tingkah dan kebiasaan yang melambat tanpa kita sadari membawa kita ke lubang yang lebih dalam”.
Itulah sebait kutipan yang ku ucapakan saat aku berada di tengah forum diskusi yang bertemakan Jayalah Terus Indonesiaku. Saat ini aku telah berdiri dan membangun kenangan baru, tuk diriku sendiri dan orang lain yang berada disekitarku.
Jujur kenangan dulu tak bisa di hapus, dan tak kan lekang oleh waktu. Walaupun hingga kini aku tlah dewasa dan bekerja di Senayan. Tapi, aku akan selalu belajar di balik makna dan hikmah peristiwa itu. Tuk tetap selalu gigih, berjuang yakin dan berusaha menggapai asa dan cita. Lalu hingga kini nama Satrio Ari Nugroho hanya akan terukir di benakku dan menjadi suatu yang tak berwujud dan hanya seberkas lalu.

PuLAu CinTa OnLine

Bangkitnya Sayap-Sayap Patah

Putih
Merah
Atau Kelabu
Teriakan merdu di balik jalan itu
Menghempaskan kedudukan, jabatan maupu kekuasan
Lorong-lorong revolusi kebangkitan bangsaku

Setapak jejak sepatu
Arus deras darah membiru
Membanjiri nadi-nadi semangat demokrasi
Melebarkan sayap-sayap patah
Pemuda dan kaum pemula

Panggil aku
Dewa perjuangan
Mengepakkan sayap
Menjijing senyuman dan harapan

2000 Peringatan akan bangkitnya aku
Sembilan pemuda dan 5 buah senjata
Menunjukkan bangsaku satu

Nasionalisme berkobar
Semangat revolusi berkumandang
Tragedi
Peristiwa
Maupun hanya sekedar lakon

Tapi penuh elok
Anggun rupawan
Tuk bangkitnya negeriku
Tuk senyum revolusi ibuku
Ibu peritiwi
Dan tawa anak negeriku

By:4r1n