Cerpen Siput Gonggong

Rabu, 25 November 2009


Siput Gonggong


Aku menyusuri tepi pantai, suasana laut berwarna biru dengan ganggang hijau dan biru yang jadi penghuninya. Pantai ini masih sepi, tak ada hawa komersil dan semuanya masih alami. Aku disini bukan untuk berekreasi, bukan untuk hiburan ataupun keperluan bisnis dan melakukan investasi. Aku bersembunyi di pantai ini untuk melarikan diri dari semua orang. Aku ingin menyembunyikan diriku di desa yang sepi dan terpencil ini. Ya disini di desa Romomdong, sebuah desa yang memiliki pemandangan eksotik dengan birunya pantai. Desa yang terletak di kota kecamatan Belinyu, yang letaknya sekitar 90 km di sebelah utara kota Pangkal Pinang, Bangka.
Aku tak mengerti mengapa sesunguhnya aku ada disini. Aku berpikir dan tak mengira aku bisa ke pulau ini. Pulau Bangka, yang dulu kisahnya hanya bisa aku dengar. Tapi yang jelas saat ini aku disini untuk Ratmi sahabatku. Ia adalah penduduk asli desa ini. Dia adalah seorang wanita yang tangguh dan bersemangat. Begitu banyak rangkaian kenangan yang ku ukir bersama Ratmi saat kami menempuh pendidikan di sebuah universitas. Di universitas kota asalku, yang mungkin sejujurnya tak jauh dari sini. Hanya di beda pulau tapi saling berdampingan.
Ratmi adalah kenangan, ia teman yang baik. Seorang mahasiswa perantauan yang menempuh masa pendidikan dan menjadi seseorang yang sukses dengan cita-citanya. Aku iri padanya sesungguhnya, ia begitu tekun dan rajin. Sedangkan aku hanya terdiam, dan menjalani hidupku dengan sederhana. Tanpa upaya dan menjalani semua keputusan dengan setengah-setengah, dan kini aku hanya menjadi seorang yang patah arang. Aku kehilangan dia, dan seisi tepi dari bagian hidupku.
Tapi anggkuh memang, aku merasa disini tak nyaman, aku mungkin sulit beradaptasi. Walaupun hanya untuk 1 hari saja. Namun, Ratmi benar disini begitu indah, tenang dan masih alami. Tak ada sentuhan keangkuhan, tak ada hiruk pikuk yang tak berguna. Tak ada kehidupan yang ramai, dan tak ada keributan yang bersifat klise tak beraturan.
Lama aku berpikir dan melangkah, sampai kulihat di tepian pantai ada seorang kakek tua yang rintih. Ia membungkuk, mengotak-atik air laut dan pasir. Ada sesuatu yang ia cari, entah apa aku pun tak mengerti. Kakinya yang keriput dan hitam legam setengah tenggelam oleh birunya air laut. Tubuhnya yang renta dan rambutnya yang hampir separuh sudah putih, tercekat oleh panasnya mentari. Ku lihat ia letih dan begitu tua untuk berada di tempat ini. Ku dekati ia, aku ingin bertanya dan menyapa.
“Apa yang kakek lakukan disini?” tanyaku sopan. Aku mendekat dan kulihat ia menggemgam sesuatu ditangannya yang tua dan rapuh itu. Kakek tua menjawab, tapi aku tak paham. Apa yang terucap dari bibirnya. Ia menggunakan Bahasa Melayu Bangka, dialeknya yang kental membuat aku sedikit bingung. Dulu kata-kata itu sangat sering ku dengar dari Ratmi.
Kakek tua paham, ia membaca raut muka ku yang bingung. Ia mengangguk kemudian memperhatikan aku dengan seksama. Mungkin ia tahu bahwa aku memang bukan penduduk sini. Dari wajah, gaya bicara dan gaya pakaianku memang mudah diketahui.
“Ini siput gonggong “ ucap kakek tua dengan perlahan. Ia mengulangi kata-katanya pelan dan berusaha menjelaskan. Suaranya yang sedikit serak dan parau itu agaknya sekarang mudah untuk ku mengerti. Sekarang ia berbahasa Indonesia, namun bahasa Indonesia versi Melayu Bangka, karena jujur dari gaya bicaranya dialek Melayu Bangka sulit untuk ia tinggalkan.
Aku tersenyum saat berbicara dengan kakek tua. Ku lihat ia begitu bersemangat, bercerita. Mengenai Bangka, desanya dan kehidupan sehari-harinya. Aku banyak bertanya, hal ini karena rasa penasaranku akan kota ini dan asal usulnya. Mungkin juga hal ini sudah menjadi kebiasaanku, untuk banyak bertanya dan berkomunikasi. Wajar memang karena pekerjaanku sekarang sebagai seorang public relation. Aku bertanya riang ini dan itu, hal unik dan yang baru kutemui disini.
Semilir angin berhembus, aku masih duduk di tepi pantai bersama kakek tua itu. Memperhatikan siput gonggong dari kejauhan di tepi pantai yang menggerus pasir mencari makanan. Dan sekarang aku sedikit biasa mendengarkan dialek bahasa Indonesia Melayu Bangka itu. Walaupun dialek itu memang sudah ku dengar saat baru tiba disini, dan saat berbicara pada keluarga Ratmi.
Kakek bercerita tentang Pantai Penyusuk ini, pantai yang masih hijau dan biru. Pantai yang kita temukan di jalan lurus dan dari pertigaan desa Rombodong. Pantai Penyusuk tampil menunjukkan keindahan alam yang elok dipandang mata. Dari kejauhan pantai aku melihat batu-batu granit yang menyembul di tepi pantai seolah-olah sebagai perhiasan. Sekali-kali ku lihat pula elang laut dan burung-burung laut lain yang terbang di birunya langit diatas kepala. Semua tampak riuh berputar dan menari menghiasi awan. Kemudian seolah ku tangkap senyum dari Teluk Klabat. Sebuah teluk yang tepat menghadap pantai Penyusuk ini.
Kakek tua juga bercerita mengenai kehidupan sehari-harinya. Ia bekerja serabutan sebagai kuli, nelayan dan terkadang sebagai pencari siput gonggong. Sama halnya yang ia lakukan kini, ia mencari siput gonggong, di saat pantai ini surut. Jika pantai pasang, siput ini mungkin bisa ditemukan pada kedalaman 5 meter.
Siput yang menjadi makanan khas Bangka dan terkadang cukup sulit dicari. Kakek tua mengumpulkan siput dalam karung, kemudian nantinya akan di jual ke pabrik. Siput gonggong di kelola menjadi keripik dan di kemas sebagai buah tangan khas Bangka. Cukup banyak ku pahami hari ini dari kakek, saat pertama kali aku tiba disini. Mengitari dan berkeliling desa ini, sehingga tibanya aku harus pergi dan kembali ke rumah Ratmi. Aku melangkah, meninggalkan kakek dengan senyum dan mengahaturkan ucapan terima kasih.
Saat ini aku telah diberanda kamar, dirumah Ratmi. Malam begitu gelap, menyusup dingin, dengan suasana pedesaan yang sunyi dengan angin laut yang bersayupan bertiup. Aku kembali mengingat cerita kakek dan dari semua hal yang diceritakan kakek ada satu hal yang masih tergiang. Satu bait yang ku tulis di hati ini:
Aku ingin seperti siput gonggong
Yang akan terus berusha berdiri sendiri
Saat ia terjatuh dan terbalik

Akan terus melangkah tertatih-tatih
Melawan derasnya ombak di pasir putih
Dan takkan pernah menyerah


Kata-kata itu yang selalu mengiang dipikiranku malam ini. Aku menemukan makna dan konotasi dari seekor siput kecil. Siput yang terkenal lambat, tak berdaya, dan juga lemah. Aku merasa malu pada seekor siput. Mungkin aku tak ada apa-apa jika dibandingkan dengan seekor siput. Aku adalah insan yang kalah sebelum berperang. Berbeda dengan siput yang akan terus melangkah dan berdiri saat ombak membalikkan cangkangnya. Sedangkan aku malah bersembunyi didalam cangkang itu dan takkan akan pernah keluar. Aku seharusnya malu, aku punya tangan dan kaki yang bisa kugerakan kemana pun dan melakukan apapun untuk diriku. Tapi aku hanya diam, berbeda dengan siput yang terus melangkah, melawan arus membawa beban berat meniti pasir putih itu.
Aku tersadar, saat lamunanku terpecah. Ratna adik Rahmi menyapa dan mendekat duduk disampingku. Ku lihat mata gusar dan kelam itu masih ada. Muka pucat, ekspersi muram mengitari Ratna. Namun, sedikit ku baca ia tetap berusaha tenang. Malam ini sepi, tengah larut malam suasana rumah cukup ramai. Penuh sanak saudara yang berdo’a melepas asa dan lara.
“Kak Mita, tadi berjalan-jalan di tepi pantai?” Tanya Ratna memecah sepi.
“Ya, dan kurasa tak pernah melihat pantai seindah di desa ini”, tuturku pelan.
“Benar, disini begitu indah”, jawab Ratna.
“Mungkin itu alasan kenapa Ratmi tetap memilih kembali kesini, menetap dan bekerja” jawabku sambil menatap foto Ratmi yang ada di rak, di sebelah tempat aku berdiri.
“Ya, itu salah satunya”, jawab Ratna.
“Tapi, bukan cuma karena itu, tapi untuk mimpinya membangun desa dan mensejahterakan masyarakat disini. Ratmi ingin menjadi seorang guru yang baik, mengajar dan mengabdi untuk anak-anak di desa Rombodong”, ucapku perlahan sambil menutup mata, meneteskan air mata bening di pipi ini.
Ku akhiri pembincanganku dengan Ratna, aku berbaring di tempat tidur mencoba melepas lelah. Aku masih sedikit mengingat Ratmi, sahabat yang selalu ada disampingku saat aku lelah dan resah. Ku tahu ia tak kenal asa, membantuku mengumpulkan dan merajut masa depanku, karena sejujurnya banyak hal yang ku pelajari darinya.
Disela-sela pembicaraanku dengan Ratna, beberapa menit lalu. Aku bertanya tentang kakek tua pencari siput gonggong. Sedikit menyesal aku bertanya akan hal itu, aku baru kakek tua itu tinggal dipesisir pantai seorang diri. Kakek tua sebatang kara, ia hanya ditemani senyum kecil siput-siput gonggong itu. Kakek tua bergelut dengan takdir saat ia harus kehilangan istri dan seorang putrinya karena wabah penyakit malaria melanda desa ini. Ia sudah lama hidup sendiri, namun ia dikenal oleh penduduk sekitar sebagai kakek tua pesisir pantai yang ramah dan bersahaja.
Jujur tak seharusnya aku kehilangan asa, saat aku kehilangan dia. Saat Sang Pangeran Hati pergi dan kini aku larut pada kesendirian yang melankolis dan membutakan. Aku merasa seakan langit ini runtuh dan waktu berhenti. Mungkin ini tak ada awal dan akhir, yang aku tahu semua itu sejak 3 bulan lalu. Mengubur mimpi dan asaku, aku hanya tenggelam dan larut.
Aku pun kembali jatuh dan menepi saat aku ditemani awan gelap kehidupan. Aku merasa tak ingin dan tak mampu bangkit. Mengatur kembali hidupku dari awal, dan meneruskan perjuanganku yang separuh jalan. Aku memutuskan sia-sia semuanya yang telah ku awali dulu. Mungkin saat ini aku menjadi pengecut di balik topeng ketakutan. Naif akan sesuatu hal yang seharusnya harus ku hadapi. Aku hidup dengan datar, tanpa tujuan dan dengan gaya alur penarikan stabil tak beranjak naik. Aku sia-siakan pilihan masa depan menjadi seorang ahli dan tetap bekerja sebagai karyawan, tanpa tahu dan apa pun dan arah mana yang akan dituju.
Pahit memang ku rasakan, saat aku harus ke tempat ini. Mengucapkan kata-kata perpisahan yang tak pernah sempat aku ucapkan untuk Ratmi sahabatku. Aku hanya melihat rumahnya yang ramai, suasana yang kelam dengan air mata. Melihat tetes airmata yang seharusnya tak kami hadirkan pada peristirahatan terakhir Ratmi. Aku tak ingin marah, tapi aku sedikit terluka saat ku tahu kecelakaan mobil yang menimpa Ratmi sehari yang lalu. Pahit dan getir ini seharusnya aku mengubah semuanya, semestinya aku menjadi siput gonggong dan kakek tua yang tak kenal lelah, ucapku dalam hati sambil menatap cangkang siput gonggong yang ada di genggaman tanganku.



10 November, Sepatu

Selasa, 10 November 2009


Sejuta langkah, sepatu menemani hari-hariku hingga usang dan terkelupas. Tahun lalu sepatu ini tak bersamaku,dengan yang lain ia menari. Terpajang di toko sepatu di etalase biru itu. Minggu lalu aku juga kelabu, seperti malam ini yang gelap dan rintik hujan. Menanti detik-detik hari jadiku,kala itu 11-11-88. Makna angka satu yang tak bergerak. Seperti angka 0 yang tetap memiliki komponen makna dan aku juga tetap sama. tak bertambah 1 centi, juga tak bertambah 1mili.Mungkin sama tak bermakna, namun ada cerita haru biru, seperti kemoceng yang hilang datang dan kembali. Berdebu dan tertata rapi, seperti rapinya rambut yang disisir dengan jari.

Aku ingin perubahan, seperti laju-laju kota yang bertambah bising dengan kesesakan dan keramaian. Seperti langit yang selalu ditemani awan dan matahari. Aku ingin bersama dia, tertawa, bermain dan belajar. Meriah mimpi dan cita-cita kami, hingga tua rapuh tak berdaya. Seribu tahun merayakan 1 hari setelah 10 November bersamaku, ceria. Layaknya senyum rumput dan semak belukar yang tak pernah mati oleh alam. Walau kering usang dan tak hijau, tapi tetap berdiri tegap dan bertiup andai.

Dia tahu aku tahu. Dia yang membantuku untuk optimis
dia yang membantuku untuk tersenyum

tapi aku tak mengertii
mungkinn di balik itu ada maksud, bermakna semantik yang tak kuketahui
karena mungkin aku awal dan polos
lemah dan tak tahu
apa itu ketulusan

Untuk dia yang ku ingin ia pelajari bait-bait ketulusan.

Seperti ibu peri yang dengan setia menyihir
Menghapus gelap-gelap kegelapan
abu-abu yang menyamarkan.

Malam ini.
Ku kaitkan makna-makna ketulusan. Rajutan semangat motivasi, dan guratan-guratn asa yang baru. Untuk 1 episode dari periode kehidupanku. Tapi kini aku tahu, aku butuh sepatu baru. yang membawaku ke langit2 baru kehidupan dengan ribuan cita dan tujuan.

Lelaki berbaju biru itu

Senin, 26 Oktober 2009


Langit kelabu, suasana pagi yang masih mengembun. Rona-rona merah matahari berayun-ayun menepi. Aku berdiri di separoh jalan tepian, menyaksikan keributan dan kegaduhan suasana awal hari yang suram. Air muka dan mataku mengembun pagi ini, merah dan bauran emosi dipikiranku. Gejolak peluru merah menumbus rusukku, sakit sedih mengharu biru. Menghitam kepulan asap dari knalpot, sehitam lebam hatiku yang sedih akhir pekan ini. Ku peranjatkan mata, saat melihat seorang tukang koran itu. Baju biru, lusuh abu-abu pekat. Bercak-bercak coklat kelam dari kulitnya menandakan hidupnya yang juga pilu sepertiku. Sandal jepit karet mengelupas, semu tak melindungi kedua kakinya dari sengatan mentari maupun arum terjal panasnya aspal. Kubaca gerak-gerik gesture tubuhnya, lincah, gesit, penuh semangat namun terlihat letih di balik kelopak matanya. Ya, mata coklatnya yang berembun itu.
Pagi ini aku menuju tempat rutinitasku. Ya kampus itu, kampus jaket biru. Berada di tengah kota dan hiruk pikuknya deru modernisasi. Tapi, itu tidak buatku, menurutku itu sebuah jendela yang membawaku ke dunia lain yang tak ku harapkan. Ke jalan cerita yang tak pernah ku tulis dan ku rencanakan. Tak ada dalam peta hidupku, tak ada dalam denah jalanku yang dulu.
Ku kubur mimpiku menjadi seorang guru seperti ibuku. Nyatanya ku gantikan semua itu dengan cita-cita baru yang ku geluti kini. Ku lakukan dengan separoh hati dan setengah jalan. Semua itu karenanya, asanya dan patokan-patokan pemikiran yang klasik menurutku. Ya, beliau saudara jauh ibuku yang menggantikan posisinya. Posisi yang sampai ujung waktu pun tak kan pernah terganti. Aku sekarang bergelut dengan sinyal-sinyal, pasal-pasal, hukum-hukum aturan dan hafalan tentang kehidupan di masyarakat. Sebuah profesi yang banyak membutuhkan tantangan dan sulitnya tuk berdiri sendiri tanpa berlaku kotor. Mungkin itu anggapanku tentang kegiatanku kini, seorang mahasiswi yang akan menjadi calon pengacara. Identik dengan pikiranku yang terlalu negatif tentang itu. Hidup memang tak adil, semuanya hanya menjadi penjara baruku kini.
Masih tergiang, aku marah, merajuk dan tak senang atas pilihan itu. Pilihan yang di atur dan susun rapi seperti domino untuk hidupku. Mungkin sampai hari ini aku tak pernah ramah dan tersenyum pada dirinya. Emosi membakar dan menyelubungi rasa terima kasihku untuknya. Tak ada sedikit pun aku bersyukur, atas aturan dan pilihan beliau. Ya, dia saudara jauh ibuku itu, hingga sampai pagi ini pun aku tetap sama dengannya bertengkar, marah dan saling menghardik. Entah kapan ku akhiri permusuhanku dengannya, dengan orang yang sekarang selalu menjaga dan merawatku itu. Dia adalah tanteku seseorang yang dari lubuk hatiku mungkin aku sayangi.
Tak lama aku tersadar, dari lamunan dan kelamnya banyangan yang menyedihkan itu. Tampak terlihat dari jauh, aku memperhatikan lagi penjual koran itu. Wajahnya tak asing, ku rasa aku pernah mengenalnya namun entah dimana. Topi bundar yang melingkari kepalanya dan sedikit mengalihkan pandanganku. Mencari raut muka yang jelas agar ku yakin bahwa dia adalah sebagian dari hidupku. Tapi ego dan sedihku melenyapkan sebagian memori dan kenanganku. Membekaskan kepenatan begitu berat di otakku. Miris kepala dan pikiranku berusaha mengingat, menerawangi otak-otak sarafku dan lempengan-lempengan halus butiran pikiranku mendeteksi, mencari kutub-kutub yang serasi, menemukan ingatan-ingatan yang nyata. Tapi, semua sama, tetap pikiran kosong dan ku tak tahu siapa dia.
Masih kuperhatikan ia, detik menit berlalu, sambil aku masih berdiri di tepi jalan raya itu. Menunggu jemputanku menuju kampus tercinta dan belenggu cita-citaku. Tak terasa dalam sepersekian menit lamunanku. Akhirnya ku lihat ia mendekat. Ya laki-laki itu, yang sebaya denganku dan kurasa tingginya sama denganku. Ia membawa lembaran koran dan meneriaki pengguna jalan sambil tersenyum. Menawarkan kertas yang digenggamannya. Tumpukan kertas yang menjadi tumpuan hidupnya. Koran-koran apik berwarna putih abu-abu yang tak berarti kelabu.
Sekarang ia berdiri didepanku, masih dengan baju biru yang kelabu itu. Setelah ia melintasi beberapa pengguna jalan, melewati liku-liku jalan yang tak pernah sepi disaat jam sibuk. Melintasi aspal yang panas dan hitam itu. Tak berapa lama aku melihat wajahnya, tapi sebelum sempat aku melihat raut mukanya dan tahu siapa dia. Ia memutar arah, menuju arah jarum jam yang berbeda dengan tempat dimana aku berdiri. Tak kuasa dan tak hanya diam, aku mencoba menyuarakan. Aku memanggilnya, ‘hei, mas’ tunggu!! Seruku. Namun ia tak perduli. Deru langkahnya tak berhenti, memacu langkahku untuk tetap melaju dan mengejarnya. Tapi, ia tetap berlari menembus keramaian dan melintasi trotoar yang ramai itu. Aku tetap mengikuti jejaknya namun, sejenak nafasku terengah. Aku hampir tak bernafas mengejarnya, langkah kecilku berhenti dan melihatnya hilang dalam ingatan dan tatapan
* * *
Rintihan waktu terus bergulir, tapi aku tetap berpikir. Siapa dia? Ya laki-laki berbaju biru. Si penjual koran kelabu. Ia menari-nari di otakku, berpijar dan berbinar di relung batinku. Siapakah dia? Dia laki-laki yang berbaju biru yang selalu berputar di otakku. Mengapa ia pergi dan menjauh, mengapa ia menghilang??? Sepanjang perjalanan waktu ini aku masih mengingat, ribuan langkah t’lah terlewati. Banyak waktu yang telah terganti. Hari demi hari, hingga pagi ini. Semua terulang lagi. Aku melihatnya lagi. Ia duduk di pinggir jalan, di sebuah kursi pemberhentian. Ditepi jalan, di trotoar hitam putih itu. Perlahan aku melangkah, mendekatinya dan bersembunyi dibalik langkahku. Langkah sepatuku yang tak berdetak itu melewati trotoar dan ramainya jalan.
Aku sekarang duduk disebelahnya, tapi ia tetap diam. Merunduk dan memperhatikan lekukan semen trotoar. Ia tak menyadari aku disebelahnya, tapi aku tahu sekarang aku disampingnya. Didekat seorang laki-laki yang mengisi ribuan otakku bermalam-malam lalu. Laki-laki penjual koran yang berbaju biru itu. Tapi, aku juga tahu air mukanya sedih. Matanya berembun dan batinnya terluka.
Jangan pergi lagi dariku, aku tahu sejarahnya, aku tahu sekarang sudut detilnya. Aku tahu semuanya. Mendengar itu, ia terkejut. Raut mukanya berubah kelam dan makin mendayu. Tapi, kini ia tidak bergerak. Air mukanya jatuh dan membasahi pipi pucatnya itu. Terlihat semburan kesedihan yang bergejolak besar, yang saat ini berbaur dan menjadi satu. Kurasa kakinya membeku sore itu, hingga ia tak mampu lagi berlari dan menjauh dariku.
“Maafkan aku Mila”, ucapnya lembut.
“Tak ada apapun lagi kini, semua sudah berlalu. Terlukis dalam koran itu juga kala itu. Sama dan mungkin berulang, tapi semua takkan mengembalikan apapun” ucapku renyah.
Air mata hanya yang ada. Mengitari dan menghiasi ucapannya.
Tapi, aku marah. Berang dan gusar. Mendelik aku menatap matanya, sambil aku tetap bercerita dan berkisah. Membuat air matanya terus mengalir.
Ya, semua karena sejarah itu. Malam-malam kelam setelah kepergian cahaya hidupku. Aku kehilangan arah, jalur dan kompas hidupku. Juli 4 tahun lalu, menyedihkan, menyisahkan sayatan dan luka mendalam disini. Di kedua rongga dada dan batinku, tepatnya di pusat otak semangat dan pikiranku. Masih dalam ingatan, saat hari terakhir kami mengantarnya di peristirahatan terakhirnya. Di tempat belenggu biru, di peraduan dan persimpangan terakhirnya. Di bawah awan-awan hitam yang menjulang pepohonan yang rindang dan hijaunya rerumputan. Ya, disana di makam yang berpetak-petak itu. Sebuah batu yang berdiri sendiri, ditemani bunga-bunga mewangi dan prasasti namanya. Tangisan menderu disebelahnya, disamping gundukan dan tumpukan tanah merah yang basah itu. Ya nama ibuku yang tertulis di batu nisan itu. Jika saja kau tidak membawanya pergi dan jika saja kau menuruti keinginanku. Hingga kini mungkin aku masih melihat senyum mukanya. Senyum ibuku yang menenangkan.
Ia, menangis perlahan, cucuran air embun mata mengairi, melewati liku-liku air mukanya. “Aku memang Dimas”, ucapnya. “Dimas yang dulu selalu bersamamu, Dimas yang mengukir hampir di setiap detik waktumu, Dimas temanmnu, Dimas cintamu dan Dimas yang kau benci. Dimas yang menghancurkan hidupmu”, tuturnya halus dan serak beradu dengan alunan kebisingan sore itu.
Aku, terdiam mendengar ucapannya. Menyayat hatiku melihat orang yang kukasihi menyalahkan dirinya, dan ku rasa itu juga menghancurkan hidupnya.
Aku tahu kecelakaan mobil 4 tahun silam, antara dirinya dan ibuku tercinta mengubah segalanya. Malam kelabu saat ia pergi bersama ibuku, yang mengukir derita. Saat itu dia dan bersama ibuku hendak menemuiku ditempat yang berbeda, dan akhirnya membawa ibuku ke tempat yang berbeda pula. Naif memang, terkadang aku menyadari itu bukan salahnya. Aku sadar sepenuhnya semua telah dituliskan, ya dituliskan ditangan ibuku. Memang seharusnya begitu, dan sesuai jalur yang dipetakan. Garis takdir yang memang berlalu di jalan sebagaimana mestinya.
Tapi, semenjak aku kehilangan dia. Membuat aku membencinya, menghardiknya, dan ingin rasanya aku pun membunuhnya. Membunuh namanya dalam hidupku. Saat aku melihat ibuku pergi, ia pun pergi. Tak ada sama sekali aku tahu ia dimana, tak seorang pun tahu. Tapi, yang aku tahu ia bersedih dan menghilang sehingga aku berpikir ia berkhianat. Aku merasa ia yang harus bertanggung jawab atas itu, karena mungkin dia merasa bersalah dan menghilang dari hidupku.
“Maaf pun tak ada gunanya Dimas,” ucapku berlalu.
Tapi, ia hanya menangis. Menunduk dan jatuh lebih dalam kesedihannya.
Mungkin memang tak ada maaf untuknya. Aku pun berlalu meninggalnya dan melupakannya. Menghapusnya dalam ingatanku hinga kini. Menguburnya dan mengirim namanya ke tempat lain yang tak mungkin ku temukan, hingga akhirnya aku mampu memperbaiki hidupku karenanya.
Luka disni masih ada ternyata. Saat ibu pergi, aku benar-benar sendiri. Tanpa dirinya maupun tanpa 1 senyuman dibibir tipisku hingga kini. Karenanya aku tinggal bersama saudara jauh ibuku. Ia yang menjagaku, membimbingku, mengaturku, dan memilihkan jalan hidupku. Mengubah segala detil diriku menjadi kehendaknya, dan menguasai hidupku. Menggantikan semua yang berwarna-warna menjadi kelabu tanpa lagu ceria sedikit pun. Mengukirkan molekul-molekul kehidupan yang suram, menggariskan luka-luka dan mengubur mimpi dan asaku. Keinginanku untuk menjadi seorang yang ceria dan berharga, menjadi seorang pemimpi yang berjaya. Dan kini aku seperti upik abu, seperti boneka dalam bingkai.
Lama aku menjalani hidup suramku, ya semua itu karena Dimas. Sahabat kecilku, teman kecilku dan juga menjadi kekasihku kala itu, mengubah petak-petak hidupku. Tapi, tak ayal aku pun menyesal. Menyalahkannya, dan menghardiknya bukan pikiran yang bijak, hingga kini aku tahu. Ternyata, setelah ibuku pergi. Ia menghilang dan aku tak pernah tahu lagi kabarnya. Kini aku baru tahu ternyata, tak lama beberapa tahun setelah itu ia kehilangan orang yang dikasihinya pula. Pada malam tragedi yang membawa anggota keluarganya, peristiwa kebakaran membuat malam-malam Dimas menjadi biru, dingin dan sepi. Hingga akhirnya membuatnya jatuh terpuruk ditepi jalan dan menjadi seorang penjual koran.
Menangis hariku jika ku ingat, mimpi janji dan cita-cita kami yang tak pernah terjadi. Di taman dulu kami tertawa, bercerita tentang mimpi dan harapan itu. Sebijaknya aku harus bersyukur dengan hidupku kini, aku masih bisa menyelesaikan S1 ku, merasakan bangku kuliah yang tak pernah ku syukuri. Berbeda dengan Dimas yang mengukir hidupnya dengan hidup mandiri, sendiri dan sepi. Seharusnya kata maaf itu bukan darinya, tapi dari bibir tipisku ini.
“Maaf Dimas, dan cobalah tersenyum untukku satu kali saja”. Satu kata yang selalu ku simpan dihatiku untukknya. Ya dia, lelaki yang berbaju biru itu.(arin)

*TAMAT

Sia.....sia....

Selasa, 20 Oktober 2009

aKu tak pernah berpikir
sebenarnya apa itu tujuan
apa itu makna kebaikan
tadi aku tak bermaksud apapun
cuma ingin berekpresi
Melampiaskan apa yang kurasakan
membagi kebahagian
tapi apa ternyata aku salah
tak ada maksud dan makna dasar aku yang salah mengartikan

sedih
marah
terdiam
ku menangis
apa aku terlalu detensif
tak berpikir dan terlalu peka

tau
dan tak
semaunya
hanya berbicara saja

mengalir mengembun
dan menghilang
selanjutnya ku putuskan untuk terdiam

Cerpen NAsi KePel Cinta


NASI KEPEL CINTA

Aku berdiri sendiri, di sebuah deretan bangunan yang sederhana. Bangunan itu tampak berubah, dulu saat aku masih muda dan hijau, ku ingat betul bentuk jejak kakiku bermain disana. Bangunan yang mengukir sejarah dalam kehidupanku. Kini mungkin tampak lebih kecil. Lapangan juga bertambah sempit dan pagar yang dulunya tinggi dan selalu sulit ku panjati. Kini berubah menjadi tembok-tembok pagar yang pendek dan mungkin mudah ku lompati. Sebuah ruang sederhana, paling pojok dari deretan koridor dan sebuah taman kecil di depannya. Ada kisah klasik merdu disana. Ini bangunan tua, entah berapa lama umurnya. Yang ku tahu sudah hampir kurang lebih sembilan tahun aku tak pernah kemari. Bukan sombong atau lupa, tapi tak ayal waktu menggilasku dengan ribuan dan teroran aktivitas baru. Berderu senang hatiku kini, saat ku pandangi, sudut-sudut dan sisi bangunan ini. Semua mengandung kenangan, di bangunan sederhana, tua dan tak tampak angkuh dari lainnya.
Tujuan pertama ku tertuju pada sebuah tiang bendera yang kokoh tinggi berdiri. Semilir hati mengingat, dulu kami biasa menaikan bendera di upacara hari Senin. Lucu sedikit ku ingat, bagaimana reaksiku dulu. Saat ku gerakkan kaki melangkah tegap maju. Mengibarkan bendera merah putih. Laju terus ku ingat saat itu tiang itu begitu tinggi. Tapi kini tampak sederhana dan sedikit memudar dan berkarat. Selanjutnya ku alihkan kedua matakku di tengah lapangan, disebuah titik putih. Tengah dan berhadapan lurus dengan tiang bendera. Dulu disana biasanya berdiri seorang pemimpin upacara. Berteriak dan berseru memimpin jalannya upacara. Syukurlah, aku masih ingat dengan suara itu, seorang temanku yang sedang mencari ilmu diluar kota. Dia adalah Doni, ketua kelas kami yang cerdas dan bintang kelas. Ku ingat betul dulu sifatnya yang polos, dan sederhana bahkan kadang sedikit kaku. Sekarang aku bangga berdiri disini, karena ini adalah sekolah dasar yang membantuku mengeja dan berucap. Mengajari bagaimana awal kehidupan, mengajariku untuk tetap bersemangat. Kemudian membekaskan dihatiku ribuan kenangan manis bersama sahabatku. Sekolah Dasar Negeri 143 Palembang, sebuah SD yang sederhana di daerah pinggiran kota. Bagitu sederhana, tapi begitu mewah dan berkesan dihatiku. Khususnya dihati kami semua.
Semilir angin berhembus, mengibaskan rambutku, menenangkan hatiku dan membantuku kembali mengingat. Disini, dilapangan ini dulu kami sering bermain, dengan semua teman sekelas. Bermain bola kaki bahkan yang paling berkesan adalah bermain bola kasti. Dulu disini masih rumput, dengan tanah kering sehingga jika hujan mengotori sepatu kami dengan lumpur. Bercak coklat hitam dan kelabu menghiasi sepatu butut itu. Didalam memoriku juga tersimpan kenangan lain, dulu biasanya kami juga bermain kasti di lapangan sebuah komplek perumahan. Komplek yang tak jauh dari sini. Di sekitar kompleks itu terdapat anak Sungai Musi dan ada juga menara kapal disana. Setiap sore kami bermain bola kasti disana, lalu terkadang kami memutari jalan-jalan perumahan yang sepi dengan sepeda kami yang sederhana.
Aku menatap lurus, melihat cahaya siang sanur meratapi, serpihan udara yang dilintasi. Menguap asap-asap panas yang menyesakkan pengap di udara. Aku merasa begitu sendu siang ini. Lemah gemulai tak perdaya, melawan asa dan ego perasaan ini. Perasaan yang selalu menuntut dan memaksa, membuat aku merintih melangkah menatap laju jalanku. Aku melangkah, tapi mataku berusaha menoleh ke belakang. Mengharapkan sedikit senyum darinya yang memanggilku. Menyapaku dan mengukirkan senyuman dan masa baru di lingkungan hidupku. Sama seperti dulu, aku melihat senyum manisnya. Tawa dan keceriannya begitu membahana membuat senyum ini selalu ada di relung hati. Tak berapa lama tiba-tiba aku tersadar, ada seseorang yang meraihku. Seorang gadis manis sahabatku, teman SD-ku.
“Masih mengingat dia?” tanya gadis itu sambil menatap poros lapangan.
“Tak sedikitpun aku bisa berhenti,” ucapku pelan sambil melamun datar.
“Waktu tak dapat kembali, itu hanya sebuah kenangan”, jawabnya lagi menatap mataku dan menenangkanku.
“Sama juga sepertinya yang takkan pernah kembali untukku.”
“Kau tahu itu, Ran. Itu sudah 9 tahun yang lalu. Kau ingat jawaban Kepala Sekolah, kemarin. Maaf nak, itu sudah lama sekali. Kami tidak bisa menemukan data-datanya. Tak ada satu pun nama teman kita anggkatan 2001 ada disini. Berhentilah!!! Ucap Clara, kali ini ia menyakinkan aku dengan memegang bahuku. Ia ingin menyakinkan aku bahwa semua itu hanya mimpi.
“Tak usah menghiburku, aku tau kau juga masih berharap kan?” tanyaku mengalihkan perhatiannya.
“Apa maksudmu?’ Tanya Clara singkat.
“Doni, jawabku.
“Doni cuma masa lalu, hanya sekedar cinta monyet”. Aku dan dia tidak ada satu hal apapun.” Clara menunduk, menatap ujung jari kakinya. Menyoroti serpihan-serpihan debu di lapangan itu, aku tak bisa melihat matanya yang kelam dan sendu itu. Kurasakan getar rasa yang berbeda dari gerak-geriknya saat ku sebut nama Doni, didepannya.
“Masa lalu, tapi semuanya masih tersimpan baik di hati kita semua. Benarkan? Jujurlah akan perasaanmu Clara. Aku tahu, kau sahabat terdekatku kini. Saat terakhir Doni mengirimkan pesan singkat itu, ku lihat cahaya senyum dimatamu.
Mendengar itu, Clara terdiam. Perlahan ia melangkah menjauh. Ya, meninggalkanku sendiri disini.

***
Sore ini kami melanjutkan pencarian, ya mencari Tyas. Gadis yang selalu mengisi relung jiwaku selama ini. Angkuh egois memang, menyembunyikan semua dengan liku dan saduran yang membutakan. Sebenarnya kami bukan hanya mencari Tyas, tetapi mencari rumah teman-teman SD kami. Aku, Angga, Clara dan Sita dan Rian. Crew Celebek 143 (CLBK alias Cinta Lama Bersemi Kembali). Tujuan kami sama, menyambung tali silaturahmi. Menemukan bermacam-macam nama lama yang sudah tertandai dihati kami semua. Di bulan ramadhan, masa putih bersih dan mewangi untuk menebar kebaikan. Dengan nama Reuni mungkin, atau hanya sekedar Buka Bersama untuk melepas rindu.
Rumah pertama, di rumah Maya. Kami berlima menyapa dan bertanya. Tapi semua nihil. Tak kami temukan Maya, kata sang tuan rumah Maya sedang bekerja. Sebelah kanan, rumah berwarna cerah mewah dan sepi. Sedikit berubah, bertambah anggun dan indah. Berderet kisi-kisi emas dan pintu, jendela yang tegap. Gapura depan yang kokoh, dengan pagar berlinang dan berdiri angkuh. Berbaris mobil dan pot-pot bunga berjajar rapi, sedikit penuh sesak dengan pohon dan rerumputan. Itu rumah Tedi, teman kami yang bertubuh tinggi, tegap dan gagah.
Kami mengetuk dan kami temukan rumah yang serasi padu padan. Dari semua perabotan dan hiasan rumah. Cantik dan nyaman dipandang mata. Senyum Tedi menyapa kami, menyeruak menyambut ramah teman-teman lama. Ramai seisi rumah suara-suara gaduh riuh penuh canda. Menyenangkan mengingat moment yang lucu dan haru. Tapi, dalam diri ini sedikit mengusik, mengapa hati ini begitu melankolis. Tak berpikir logis atau realita. Masih beranjak dibenakku tentang Tyas, aku tahu, mungkin Tedi tahu dimana dia. Tedi adalah mungkin orang terdekatnya, Tyas adalah kisah klasik Tedi. Mungkin menurutku Tedi adalah cinta pertamanya. Disela-sela sepi aku berusaha menanyakan kepada Tedi tentang Tyas. Tapi jawaban Tedi buram, dan tak pasti. Dia tak bisa berjanji menemukan Tyas dan membawanya kembali kemari.
Kami pamit, tujuan selanjutnya adalah rumah Sandra, gadis berambut keriting tipis. Teman yang berkarakter unik dan lucu. Lama menyusuri Jalan Menara 8, mengitari dan mencoba mengingat dimana letaknya. Semua teman mempercayakan posisi rumahnya padaku. Tapi jujur aku tak begitu ingat, disini banyak yang berubah, rumah-rumah semakin padat, menghambur menghiasi tepian jalan.
“Dimana rumahnya?’ tanya Angga yang tampak lelah. Ia menghela nafas panjang dan menghampiriku dengan motornya.
“Aku tak begitu ingat, sudah lama aku tak kemari,” jawabku jujur dan terus berusaha mengingat.
“Telpon aja Ran,” ucap Clara memberi usul.
“Aku lupa, menyimppan nomor handphonenya,” jawabku jujur sambil melepaskan helm di kepalaku.
“Bodoh,” tambah Sita.
“Maaf, kemarin saat aku menelponnya untuk minta nomor handphone Tyas, tanpa sengaja aku lupa. Kemarin aku lagi sibuk saat menelpon”.
“Yah, kalau itu mah pasti gara-gara Tyas, jadi lupa semua”, celetuk Clara.
“Sungguh, aku tak bermaksud begitu” ucapku menjelaskan.
“Sudah hubungi saja, Tyas. Gampang kan? Tanya di mana Sandra” usul Rian yang sudah berdiri disamping motornya.
“Nomor Tyas nggak aktif,” jawabku lesu.
“Ya sudah, kalau begitu. Kita pergi, tutur Angga dan kembali menghidupkan motornya.
***
Esok harinya aku kerumah Tedi, mencari Tyas lagi dan lagi. Aku tak ikut rombongan Crew Celebek hari ini. Mereka mengagendakan banyak rumah yang hendak dikunjungi, mencari dana untuk Reuni. Mungkin sama tujuanku dengan mereka, mencari teman SD, tapi Tyas agak berbeda.
Aku bersama Tedi kembali mencari rumah Sandra. Kali ini mudah ditemukan, aku baru tahu ternyata. Tedi teman satu kampus dengan Sandra. Aku sadar egois diriku, membuat aku tak menemukan tujuanku. Sandra kali ini tak ada dirumah, ia masih dikampus. Sedikit putus asa, tapi tak membuatku berhenti. Kami kembali pulang dengan tangan hampa. Lirih dan sembilu kurasa tak ada hasil. Perjalanan menuju rumah Tedi, terasa begitu jauh dan melelahkan.
Rumah Tedi, tak kuasa ku melihat ada teman-teman yang tak ingin kutemui. Crew Celebek. Angga, Clara, Sita dan Rian mereka di rumah Maya. Aku malu, sembunyi tertutup di balik udara yang tak mengaburkan. Aku terpaksa mencari alasan supaya tidak ikut crew hari ini.
Melihatku, Angga berang. Ia menuntutku, menganggap aku berbohong. Mengatakan aku pergi dan ada urusan keluarga. Padahal aku pergi mencari Tyas, mencari sesuatu yang tak pasti. Sama halnya Clara, ia berontak dan sepuasnya menghardikku. Mengapa aku berbohong, padahal aku tak ingin menggangu mereka dengan semua ceritaku tentang Tyas. Mungkin juga kadang aku sedikit merasa malu.
Suasana gaduh, Maya mencoba melerai pertengkaran mulut kami. Tedi juga menepis jarak antara aku dan Angga. Ia sadar sifat egois kami tak pernah berubah. Rian pun sama, menepih dan menenangkan. Tapi Clara tetap marah, tak bisakah aku menyampingkan Tyas dan mencari dunia baru yang kukerjakan ini. Yang mungkin lebih menyenangkan dan membawa cahaya-cahaya positif dihidupku. Begitu emosi karena merasa dibohongi, hingga tak sadar bahwa ini bulan puasa. Astagfirullah,
“Semua kendali ada padamu Randi, kau yang menyimpan nomor handphone anak-anak. Sebenarnya apa yang kau lakukan, nomor handphone tidak aktif, kemudian pergi?’ Pasti ini semua gara-gara Tyas. Bisakah 1 menit saja, focus untuk acara kita?’ tutur Clara perlahan, yang kali ini bisa meredam emosi.
Aku pergi melangkah menjauh, menuju tepian jalan. Suasana jalan tak begitu ramai, hanya ada beberapa orang yang lewat. Tapi kini aku melangkah menghindari mereka. Tapi semua tak hanya diam, Clara memanggilku, teman yang lain menyusul.
***
Sehari berlalu, tengat waktu pelaksanaan Reuni membahana. Dana dan teman-teman sudah sebagian dikumpulkan, tapi Crew Celebek terpisah. Masih marah, benci dan berang. Tak menyatu, mencari jalan sendiri. Sita sedih, ia menangis. Clara menjadi dingin, dan Angga hanya sesekali berbicara. Tak ada senyum, seperti sebelumnya. Untuk kali ini aku merasa benar-benar kehilangan senyum itu, rasanya sakit jauh lebih sakit dari hal yang kubayangkan.
Beriring waktu bergerak, H-1 berlalu dengan sedikit persiapan yang matang. Suasana yang dulu panas sedikit mendingin. Tapi belum nyaman seperti sebelumnya untukku, hingga hari pelaksanaan hadir, aku masih terdiam. Crew Celebek yang lain tertawa, ceria bersenda gurau dengan teman lama. Mengukir kisah baru yang lebih berkesan dan bermakna.
Suasana ramai, kami kumpul di depan SD tercinta. Dengan agenda acara yang tertata. Setelah mengunjungi panti asuhan, kami menuju makam almarhum sahabat kami tercinta. Bento, sapaan yang selalu kami ingat. Ia meninggal saat dibangku SMA, karena kecelakaan. Sedih membutakanku dan menyakitkan ku kala itu, karena dia sahabat terbaikku.
Berjalan demi waktu, kami menuju rumah yang menjadi tempat untuk buka bersama. Terhibur hati ini, setelah melakukan hal-hal terbaik. Saat dipanti asuhan, kurasakan iba, saat melihat tampilan sorot mata yang lugu, polos dan lucu. Tak bertepi, sedikit hati ini harusnya bersyukur apa yang kumiliki saat ini mungkin tak dimiliki anak-anak dipanti asuhan. Sadarkah aku akan hal itu, terlalu banyak aku menuntut kepada-Nya. Ini dan itu, banyak hal yang kuinginkan tanpa ada satu hal yang ku syukuri. Sahabat terbaik seperti mereka, aku sia-siakan, hanya karena marah dan emosi. Bahkan apakah mungkin aku melupakannnya, rasa sedikit adil mungkin yang ku peroleh jika aku merasa sedih dan bimbang saat ini. Tak ada satupun yang menemani, sama halnya seharusnya aku bersyukur kepada-Nya. Ku tahu aku tak dekat, mungkin menjauh dan seiring melupakannya. Tuhan Sang Maha Pemberi Segala. Yang ku ingat hanya Tyas dan Tyas. Ingin ku merenovasi diri tapi, sulitnya hati dan aplikasi membuatku terbuai, hanyut dan melupakan tanggung jawabku.
***
Pukul 5 sore, kami beramah tamah di beranda rumah. Suasana kembali ceria, dan kini telah kuperbaiki semua. Aku kembali ceria, tertawa bersama Crew Celebek, tak ada kaku dan sedih dengan sesama. Aku minta maaf dengan Clara dan Angga, tak seharusnya aku egois, sehingga aku melupakan mereka. Merupakan tanggung jawabku, sebagai panitia penyelenggara Reuni Akbar ini.
Saat yang sangat mengibur, sesi sharing dan games bersama. Semua bercerita masa-masa dulu. Sepatah dua kata, moment yang tak terlupa. Ari cowok berambut panjang menyisir poni di kening. Begitu santai dan ramah saat bertutur. Ia menceritakan kisah cinta pertamanya, yang tidak kesampaian. Ada juga Sandra yang bercerita ia menemukan cinta pertama duduk di Sekolah Dasar, dan kami semua tahu siapa dia. Seperti juga Angga dan Maya yang dulu SD pernah berstatus berpacaran. Senang melihat senyum-senyum itu kembali.
Clara mengambil perhatian kami, ia berbicara menjelaskan sebuah permainan unik. Kata berantai, menghubungkan satu kata yang saling berkaitan dengan cara estafet. Aku sedikit paham, dan mengerti penjelasannya. Permainan yang cukup unik. Tapi satu hal yang paling unik, hadiah untuk orang yang paling cepat dan banyak merangkai kata. Adalah satu suapan nasi kepel cinta dari seseorang yang disukai. Menarik bukan? Semilir ada angin hembusan mendamaikan hati ini. Sedikit terhibur dan penasaran, siapakah yang mendapatkannya. Aku sedikit berkhayal, lumanyan jika mendapatkan itu dari Mia. Dia cantik dan baik. He..he..he… tuturku dalam hati.
Dugaanku benar, permainan yang unik. Bisa memperat dan mengakrabkan kami kembali. Kemudian benar saja dugaanku. Mia yang jadi incaran, semua ingin mendapatkan hadiah nasi kepel cinta darinya. Tapi, aku bingung kenapa Clara tidak tertarik! Dia tidak serius bermain hanya menjawab seperlunya. Apakah dia cuma menginginkan itu dari Doni. Huh!. Entahlah, ini sebuah teka-teki perasaan.
Kurasakan tak nyaman, ada hal lain yang berubah. Beberapa menit kami bermain. Ada seseorang yang ingin kutemui hadir. Ya benar ada Tyas, tapi sedikit terluka, ia datang bersama Tedi. Gunda dihatiku kembali mengusik, merenda harapan yang tak pasti itu lagi. Sesungguhnya mungkin aku ingin seperti Clara, ia menyukai Doni yang jauh disana. Tapi ia berusaha tak mau berharap dan menutupi semua itu dengan senyuman. Ia bercanda bersama teman-teman bersuka cita, melupakan sedikit keinginannya. Menatap dan menata masa depannya dengan baik, tak mau hidup dimasa lalu. Jujur aku tak yakin aku bisa seperti itu, kadanng aku berpikir apakah aku laki-laki yang bodoh dan terlalu lemah.
Permainan usai, dan aku yang menjadi pemenang.
“Huh……. Nasi kepel cinta dari Tyas.”
“Mengasyikan!!
Lama aku menunggu waktu berbuka. Mungkin inilah buka yang paling membahagiakan bagiku. Senyum-senyum merantai hati aku sendiri. Clara hadir kembali ia membawa piring yang tertutup rapi. Pasti itulah nasi kepel cinta. Nasi yang dikepel, yang dibentuk hati dan diberi hiasan hati. Mungkin ada ayam, telur atau daging. Huh….. Sedap, tuturku, apalagi ada Tyas” tuturku sambil senyum-senyum sendiri.
Aku tak sabar, semua berkeliling memperhatikan. Sepertinya semua orang juga tak sabar sepertiku. Wajah celingak-celinguk ingin tahu. Clara ditengah sambil tersenyum puas. Entah apa yang sebenarnya ia pikirkan?
Beduk berkumandang, waktu berbuka. Setelah semua menghirup es buah, mereka kembali lagi berkumpul.
Mataku ditutup, katanya ini sebuah kejutan.
Wah…….. benar-benar menakjubkan. Aku hanya menurut dan sebelumnya ku dengar nama Tyas di sebut. Oh…. Maafkan aku Tedi tuturku dalam hati.
Kurasakan 1 suapan nasi putih, tak berasa manis, pedas atau pun aroma bawang. Hanya terasa nasi putih, dan aroma kecerian dari teman-teman. Semua tertawa cerah, ramai dan gaduh. Besorak-sorak, mungkin mereka iri menurutku. Simpul kecil dari bibir ini saat ku habiskan 1 suapan nasi putih ini. Berharap setelah membuka mata ada senyuman manis Tyas disana.
“HA” aku terkejut, saat ku buka mata hanya ada Rian yang tertawa puas. Membawa sepiring nasi putih saja, yang dikepal-kepal dengan tangan.
“ HUEEEk…..! Ingin muntah, melihat kondisi ini. Diluar dugaan, mengecewakan, dimana Tyas?’ aku mencari-cari dan kulihat Tyas. Ia tertawa, ia berada tak jauh dariku.
Aku kecewa dan ingin marah, tapi melihat tingkahku semua makin tertawa. Hanya aku yang masem-masem sendiri. Mengoceh sendiri, dan begitu sangat marah kepada Clara. Dia mempermainkanku.
Sambil sedikit tertawa Clara menjelaskan, permainan ini dibuat dengan tidak sengaja. Tanpa persiapan, hanya mengisi waktu luang. Dan soal hadiahnya, nggak bisa Tyas yang memberikan nasi kepel cinta, kan ini bulan Ramadhan “pamali” yang begituan. Jadi kita putuskan diganti dengan Rian. Itu kan nasi kepel cinta dari kami semua Randi, ucap Clara tersenyum manis.
Sejauh mana menikmati kebahagian dan kebersamaan kami. Membuat aku sangat terhibur, apalagi dengan keberadaan Tyas. Waktu berlalu dengan canda dan rasa yang begitu berkesan dihati.
Tapi buatku dengan Tyas belum selesai, aku ingin bicara banyak. Menanyakan kabarnya dan mendengar suaranya lagi. Saat aku bisa memperjelas dan akan kutanyakan semuanya.
Santai dan sederhana aku bertanya, tapi Tyas tak merespon baik, ia sekarang tinggal di Yogyakarta. Ia pulang hanya sebentar untuk mengunjungi sepupunya. Kemudian di hari raya dia akan kembali lagi.
Aku begitu kecewa, Tyas mengucap kata terakhirnya, yang membuatku sedih. Walaupun saat ini ada rasa untukmu, tapi semua tak ada tujuan dan kejelasan. Tyas memiliki kehidupan lain di Yogya, tanggung jawab dan keluarganya dan satu hal yang paling ia inginkan dia tak ingin menyakitiku. Sungguh dan kini aku mengerti, aku harus melepasnya pergi.
***
Semua kembali sepi, hanya ada Crew Celebek disini. Dirumah Clara. Rian, Angga dan Sita. Kami berkumpul membicarakan misi selanjutnya Crew Celebek. Halal bil halal, silaturahmi bersama di hari raya.
Aku duduk di teras rumah, teman lain bercanda sambil OnLine di ruang tengah. Aku sepi, memikirkan ucapan Tyas kala itu. Merenung dan mungkin menyesali diri. Tak berapa lama, Clara kembali hadir, ia tersenyum sambil memperlihatkan sms dari Doni, isinya cerita mengenai acara buka bersama dan sedikit salam untuk teman semua.
“Dia takkan kembali sebelum kuliahnya usai. Aku juga tak tahu apakah aku masih ingin menunggunya. Tapi, yang ku tahu saat ini hidupku bahagia, karena ada teman-teman semua yang ku sukai. Ada kalian semua disisiku, mungkin ini sudah cukup. Lalu yang ku tahu, antara aku dan dia, memang hanya sebuah cerita. Tak ada apapun yang berarti, hal yang sama dan tak ada perubahan.
Clara tesenyum simpul, menyadarkan aku betapa tulus dan sederhana senyum itu tercipta. Hanya karena kebersamaan kami semua, memiliki sahabat-sahabat terbaik telah membuatnya bersyukur dan bahagia.
Cinta yang hilang datang dan pergi, tapi seharusnya aku bersyukur dengan apa yang ku miliki saat ini. Persahabatan dan keluarga yang mungkin tak dimiliki orang-orang yang selalu memburu cinta. Terima kasih ya Allah, atas kiriman paket kebahagian yang selalu Engkau berikan, tuturku sambil kembali masuk ke ruang tengah. Aku datang kembali menemukan kebahagianku! Sama seperti nasi kepel cinta waktu itu, tak butuh banyak hal berlebih yang tak bermanfaat. Nasi putih dengan cinta dan ketulusan jauh lebih bermakna.

***
Selesai.



Embun, Cahaya dan Partikel Debu



Pagi hari
Kala negeriku masih baru
Masih muda
Merangkak dan berembun

Secerah cahaya ada
Saat senyum ada pada dirinya
Cahaya
Lambang kebahagian
Embun
Lambang ketenangan
Debu
Lambang kesusahan

Saat itu
Gejolak bangsa menderu
Menderita dan menjalari negeri
Virus yang menggerogoti sistem
Tanah yang mengubur asa dan cita

Inilah yang terjadi
Disni dan saat ini
Di tempat bumiku berpijak
Di sudut lorong rumahku
Di peringatan kebangkitan bangsaku

Ku ingat
Seruan-seruan
Ajakan-ajakan
Tuk bangun dan berjuang
Tuk berdiri dan tersadar

Membawa mata pisau
Lalu ku gotong secerah harapan
Di balik tirai kehidupan
Tuk secuil senyum dan tawa
Tuk mata rantai
Dan aliran kehidupan masyarakat bumi
Tuk nafas
Bumi dan ibu pertiwi

PUISi


Ada Dua Cinta

Pilihan itu satu
Tapi aku tahu ada dua
Dua di antara satu
Dia yang aku pilih lebih dulu
Atau dirinya yang selalu ku rindu

Ingin ku hentikan rasa ini
Karena ku tahu dia ada
Dia yang memiki cinta dalam hidupku
Tapi bukan cinta dalam hatiku

Tuntun dan bimbing aku
Jendela mana yang ku tuju
Dirimu atau dirinya
Satu kasih yang ku tunggu

Kebangkitan Nasional Sama Dengan Kebangkitan Ekonomi Masyarakat.




Wujud Nyata dari Peringatan Kebangkitan Nasional yaitu dengan Kebangkitan Ekonomi Kreatif dengan Cara Membeli Produk dalam Negeri

Seiring dengan krisis global yang melanda berbagai penjuru dunia membuat jejak-jejak keluh dan kesah di berbagai kalangan. Salah satu contoh yang menarik adalah dalam pengembangan ekonomi di Indonesia. Ekonomi Indonesia membutuhkan banyak sisi perbaikan agar membawa dampak positif bagi rakyat.
Dalam peringatan 1001 tahun hari Kebangkitan Nasional inilah, wujud rasa nasionalisme yang dapat dilakukan yaitu dengan meningkatkan mutu perekonomian Indonesia. Sektor ini sangat baik untuk dikembangkan agar terwujudnya gerbang ekonomi yang sejahtera. Jika perekonomian rakyat baik maka akan membawa dampak yang sangat positif. Senada dengan hal itu dalam Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menuturkan untuk memberdayakan ekonomi “Wong Cilik”. Selain sektor ekonomi yang sangat berpengaruh ada sektor lain yang patut diperhatikan yaitu sektor pendidikan. Pendidikan yang bermutu akan membawa bangsa ini menjadi bangsa yang cerdas dan kokoh. Tidak dapat di pungkiri faktor yang mendukung meningkatnya mutu/kualitas sektor ekonomi adalah sektor pendidikan. Sumber daya manusia yang cerdas, kreatif dan inovatif akan mampu membentuk sektor ekonomi yang baik pula. Tapi hal ini perlu dukungan dan partisipasi dari masyarakat tentunya. Bukan hanya untuk masyarakat ekonomi saja. Melainkan dari berbagai lapisan mayarakat yang memiliki peran penting. Salah satunya sistem yang di terapkan oleh Mendag Mari Elka Pangsetu dalam programnya yaitu dengan cara memproklamirkan Kebangkitan Ekonomi Kreatif “Aku Cinta Indonesia” ke seluruh Indonesia. Program yang mencanangkan agar masyarakat seluruh Indonesia membeli, memakai dan menggunakan produk/jasa dari dalam negeri. Produk/jasa dari hasil kreatif perekonomian bangsa Indonesia sendiri juga memiliki kwalitas yang baik, sehingga dengan hal ini mampu membawa angin segar bagi sistem perekonomian.
Dengan mengkomsumsi karya hasil bangsa sendiri akan membantu bangkitnya perekonomian Indonesia. Produsen yang bekerja akan terus memproduksi dan mendistribusikan jasanya ke konsumen, sehingga produsen akan terus berkarya dan bukan tidak mungkin jasa tersebut akan mampu di ekspor ke luar negeri. Tapi proses ini membutuhkan kerja keras dan banyak waktu agar produk Indonesia dapat berkwalitas sehingga mampu bersaing dengan produk asing. Tapi fakta lain yang diperoleh bangsa ini masih jalan di tempat pada sistem pro kapitasme yang telah merusak perekonomian rakyat. Suatu sistem dimana hasil perut ibu pertiwi nyaris habis diboyong keluar negeri.
Hal inilah yang sangat disayangkan, oleh karena itu himbauan untuk lebih cinta tanah air dan cinta produk Indonesia tentunya adalah salah satu cara yang cukup efektif. Peran serta masyarakat dari segala lapisan sangat dibutuhkan agar mampu membawa para sistem perekonomian yang sejahtera. Ternyata hal sederhana ini adalah salah satu wujud nyata dan mudah yang dapat kita lakukan untuk bangsa Indonesia. Wujud dari semangat Hari Kebangkitan Nasional agar bangsa ini benar-benar bangkit dari ketepurukan dan membawa kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Aku Wanita Bernyawa Sembilan

Jumat, 16 Oktober 2009


Terdengar sayu sendu itu
Lemah gemulai mengusik gerakku
Latar yang elopk dan mendayu
Raga, hati dan batinku satu

Serang menyerang emosi itu
Gelora hati yang memacu nafsuku
Memancing egoku tuk berseru
Menyapa dan memperdengarkan laguku

Aku wanita bernyawa sembilan
Tak kan hilang oleh waktu
Tak kan mati oleh pedang
Aku wanita berjubah hitam
Menyelubungi kehidupan dan duniamu
Menguasai masa dan peradapan

Koper, ransel dan sepatu
Lambang dari derai langkahku
Membaca cahaya harapan serta senyuman
Tuk semua ciptaan dan insan

Gelas, sendok dan garpu
Bentuk dari cinta dan kasihku
Ukiran atas pengertian dan perhatian
Kepada idaman hati yang tersayang

Buku, pena dan coretan
Simbol dari diriku yang berpendidikan
Membimbing dan mengarahkan tujuan
Tanpa persiapan dan pelatihan

Tapi,
Aku tak kan pernah diam
Saat gelap menghitamkan negeriku
Kala hujan membanjiri ladangku
Di saat api melenyapkan bumiku
Dan di kala asap memudarkan langkahku

Aku seorang ksatria
Berperang dalam gejolak evolusi global
Bertempur di arena degradasi moral
Berjuang di atas atap kemisikinan

Saat ibunda pertiwiku mulai senja
Saat anak negeriku brutal
Dan di saat pemuda bangsaku lalai
Seperti perisai aku selalu terdepan

Tapi, semua itu hanya ungkapan
Jendela dan sindiran menuju gerbang masa depan
Lalu,
Ku bimbing dan ku arahkan peluru
Dengan bingkai dunia pendidikan
Agar anak negeriku menjadi hijau selalu


Esai


Jejak Belasungkawa Negeriku

Merunduk menundukan kepala untuk negeriku. Berpikir mencermati bagaimana lagi bangsa ini tergopoh-gopoh merantai hari. Untuk senyum Indonesiaku. Haruskah aku mencari bunga mawar hitam, untuk negeriku. Menyoroti jejak-jejak peristiwa kelam yang terjadi. Hanya untuk membukakan mata, menyadarkan hati dan diri untuk melakukan pergerakan yang nyata sebagai bentuk apresiasi untuk negeri ini. Berjuang tanpa perlu diawali sebuah wujub belasungkawa. Semua yang dilakukan harus murni, pamrih dan tulus. Jangan memberikan satu umpan untuk sebuah peristiwa yang mampu dihindari maupun dicegah semua itu sama halnya menyapu lantai dengan sapu yang kotor, menyisakan jejak-jejak pasir kemudian membersihkannya lagi berulang kali. Sebuah perumpaan untuk pekerjaan yang sia-sia. Ungkapan untuk menyadarkan relung hati bahwa lebih baik mencegah dari pada mengobati. Kumpulan kata yang biasa kita dengar yang merupakan pelajaran dan himbauan agar selalu waspada dan bertindak cermat, cepat dan tegas. Seperti nasionalisme, sebuah ungkapan yang mengajarkan untuk cinta tanah air. Kata ini merupakan sebuah klise yang dianjurkan dan hanya akan menjadi sebuah wacana. Seperti wacana yang berjudul tak memiliki makna, tanpa tujuan dan hasil. Nasionalisme akan seperti kaleng kosong, jika tidak adanya objek dan pergerakan yang nyata.

Komponen nasionalisme; sebuah pemikiran yang ditanamkan didalam jiwa agar berupaya dan bekerja demi bangsa dan negera. Selanjutnya sebuah nasionalisme merupakan tindakan yang mengajukan sebuah apresiasi, baik berupa gagasan, ide kreatif dan bertindak kritis mengusung hal tertentu untuk kepentingan bangsa. Tindak lanjut dari sebuah apresiasi diri untuk nasionalisme menghasilkan pengalaman dan sebuah pengajaran berharga untuk satu buah harapan baru yang lugas. Membimbing dan mengarahkan untuk satu tujuan yang bermanfaat bagi kepentingan negeri. Jangan hanya sekedar jalan ditempat pada jejak-jejak yang sama, mengulang sejarah yang sama yang berujung pada sebuah dramanisasi nasionalisme semu. Memberikan jejak-jejak baru pada kaum pemuda yang menyimpang karena salahnya sistem dan penerapan.

Generasi muda merupakan generasi penerus, yang bertanggung jawab akan berdiri kokohnya bangsa ini. (Pemuda = Bagian Nasionalisme – Inti Nasionalisme – Motor Penggerak Suatu bangsa). Pemuda merupakan sebuah partikel kecil yang akan bersatu menjadikan sebuah bangsa yang kuat dan tegap berdiri. Menghadang pengikisan yang terjadi dan terus membangun kembali. Oleh karena itu, bangsa ini butuh generasi yang aktif, kreatif dan inovatif. Bukan hanya menjadi generasi penerus yang anemia. Generasi yang pasif, tanpa pergerakan, dengan alur datar dan apa adanya.

Tanpa adanya proses perjuangan dan pengalaman yang cerdas generasi muda akan mati. Condong pada kegiatan yang menggiurkan bahkan terjebak atau terjerumus pada tindakan yang salah atau merugikan. Tanpa arahan dan bimbingan terkadang pemuda akan memilih sebuah tantanggan yang berisiko tanpa sebuah pemikiran yang cerdas dan cermat terlebih dahulu. Lebih mengutamakan emosi dan rasa ingin tahu, sehingga menjadikan generasi muda yang rendah diri dan pasif dan ceroboh. Generasi yang dinamis dan indivudualis tanpa perduli akan lingkungan sekitarnya.

Didalam sistem sosial masyarakat generasi muda memegang peranan penting. Contohnya pada mahasiswa yaitu; sosial control yang membentuk opini masyarakat terhadap suatu pokok permasalahan. Sedikit berpikir logis, bagaimana negeri ini akan berpikir cerdas jika generasi mudanya rendah diri bahkan acuh tak acuh. Masyarakat akan jatuh dan terpuruk pada paradigma yang samar-samar dan membingungkan.

Demi sebuah nasionalisme yang nyata dan tepat, dibutuhkan generasi muda yang tangguh. Bukan generasi muda yang tinggal di kota mati. Generasi muda yang bertutur dan bertindak demi kepentingan diri dan hanyut dengan egoisme masa muda. Sebuah pandangan yang hanya fokus pada hiburan dan kesenangan semata. Selanjutnya hanya berdalih pada kata pencarian jati diri, sehingga lupa akan tanggung jawab utuh sebagai putra bangsa. Bertirai pada kata ‘untuk sebuah proses pendewasaan diri’, sehingga generasi muda jatuh dan tercebur dalam dunia remaja yang menegelamkan. Mencoba sesuatu yang baru dan tanpa disadari melupakan sesuatu yang menjadi dasar dan pokok bagi kehidupannya. Selanjutnya akan membawa ke tahap-tahap regenerasi penurunan mental sosial pemuda.

Beberapa contoh nyata jejak belasungkawa yang ditorehkan pemuda, yaitu; bersikap acuh tak acuh terhadap suatu budaya daerahnya sendiri. Tak ayal pemuda lebih suka kesenian/musik modern daripada kesenian daerahnya sendiri. Berpaku pada kata “kuno’, “norak” atau “nggak gaul”, sehingga budaya baru mengikis niat pemuda untuk belajar dan mencintai kesenian tradisional. Hal ini bukan hanya terjadi di suatu daerah, tapi hampir keseluruhan dari negeriku. Suka bukan berarti dosa, tapi tetap mengusung cinta budayaku. Satu jejak nyata belasungkawa negeri ini, yang kini terjadi lagi. Sebuah tutur kata lisan untuk negeri ini. Untuk sebuah nama yang diakui bangsa lain. Tak perlu namanya disebut, kita semua tahu. Identitas Indonesiaku, di akui di namai untuk bangsa lain. Perih, kecewa, marah dan berang. Untuk tarianku Pendet, untuk senandung yang kita dendangkan Rasasayange. Tak bermaksud lupa atau tak menghargai budaya negeri, tapi hanya sekedar tak mawas diri. Seniman putra bangsaku mencintai dan belajar serta dengan tekun menjaga dan melatih diri. Tapi, hanya sedikit lalai dan santai. Angkat kepala dan bangkit, ukir nama untuk budaya negeriku.

Indonesia tercipta beraneka ragam, begitu banyak nama yang perlu diingat hingga sulit tercatat. Negara bhineka dengan beribu-ribu keanekaragaman, tapi seiring bergeraknya peradapan dengan gegap gempita gegar budaya menenggelamkan pemuda pada momok realita budaya baru yang dianggap jauh lebih sempurna dan menarik. Saat ini yang dibutuhkan sebuah tajuk baru, yang membangkitkan semangat generasi muda. Wacana dan pemikiran baru untuk Indonesiaku. Bukan sekedar wacana yang hanya menghimbau dan menyarankan. Toh jika hanya bicara siapa yang hendak mendengarkan? Tapi kali ini harus bertindak tegas, jelas dan rapi. Satu pandangan keras yang membimbing dan menumbuhkan kembali kebanggaan atas sebuah keanekaragaman. Jika hanya himbauan hanya menjadi kata-kata semu yang tak berisi bahkan tak berguna. Cara sederhana yang dapat dilakukan berupa sebuah perhelatan budaya /seni. Tak perlu akbar dan meriah untuk awalnya, sederhana kecil dan mencakup lingkup yang tepat sasaran jauh lebih berharga. Misalnya dalam lingkup sekolah maupun lingkungan masyarakat kecil. Sebuah kompetisi kecil berupa kegiatan budaya/kesenian yang diikuti oleh anggota masyarakat /sekolah. Kegiatan ini cukup efektif untuk memperkenalkan maupun menanamkan rasa cinta akan kegiatan budaya/seni. Semua ini bertujuan untuk mengingatkan bahwa adanya sebuah budaya/seni yang unik dari daerahku yang wajib dijaga dan dilestarikan. Ada ungkapan “bisa ala biasa” jika sudah terbiasa maka akan bisa, pandai serta mahir. Sama halnya untuk budaya/seni sehingga akan tertanam didalam diri kita. Bukan hanya perasaan menghargai tetapi malah mencintai.

Jika kita kembali menelaah, bagaimana potret kehidupan masyarakat kita. Apakah sudah sesuai dengan harapan? Masih banyak masyarakat yang resah akan kekurangan dan kemiskinan. Tetapi tak sedikit pula masyarakat yang hidup berkecukupan. Masih banyak jiwa-jiwa yang merasa tidak adanya ketidakadilan. Hanya kalimat itu yang mungkin kita selalu dengar dari kolom koran-koran. Keluhan, rintihan bahkan sindirin. Tapi sedikit sekali yang menyorot sisi kesadaran individu. Rasa nasionalisme hadir dalam diri, tapi tak tahu pasti sejauh mana rasa tersebut terealisasi akan perbuatan yang nyata. Mungkin diri kita sendiri pun tak menghiraukannya. Tapi yang jelas kita akan melakukan hal terbaik untuk negeri ini. Inilah salah satu pola pikir kita saat ini. Rasa nasionalisme mungkin bisa diibaratkan sebuah wacana. Wacana yang selalu kita dengar dan dianggap biasa. Entah itu sebuah peraturan atau hanya sekedar anjuran. Contohnya, semua orang tahu, bahwa menggosok gigi sebelum tidur itu sangat penting bagi kesehatan mulut dan gigi. Tapi apakah semua orang melakukan hal tersebut? Apakah semua orang mencuci muka sebelum tidur? Lalu pada kenyataannya ada juga orang yang langsung ke tempat tidur tanpa mencuci kakinya terlebih dahulu. Dapat disimpulkan, hal ini bisa dikatakan mengenai soal tahu dan soal mau atau tidak melakukannya. Tahu saja mengenai hal tersebut lalu tidak mau melakukan, siapa yang bisa melarang. Mungkin di negeri ini orang pintar banyak, tetapi bagaimana dengan orang yang berwatak/berbudi. Sebuah pilihan, lebih baik menjadi pintar dulu atau berwatak dulu? Sedikit menggelitik, sebuah pertanyaan ini. Sudah jelas, jika semua orang akan menginginkan keduanya. Lalu bagaimana dengan realisasinya. Hal ini cukup sulit, minimnya kesadaran diri untuk akan membuatnya sirna. Tapi, ada pandangan jika ilmu seseorang semakin banyak, maka semakin menghargai perturan, semakin mengenal etiket, sopan santun dan berwatak. Tapi adakah yang bisa menjamin? Semua kembali kepada kesadaran masing-masing individu. Toh’ malah makin tinggi ilmu, terkadang lupa akan hal yang sederhana. Jadi untuk apa belajar tinggi tetapi yang rendah belum kita ketahui.

Sebuah kajian mengenai sebuah kesadaran diri. Nasionalisme butuh pergerakan, butuh tindakan yang didasari dari dalam diri, sehingga menghembuskan semangat dan kinerja yang apik. Kita berpikir saat dibangku sekolah kita mengikuti kegiatan upacara bendera adalah bentuk nasionalisme. Tapi pernahkah kita ingat sejauh mana bentuk keseriusan tersebut. Terkadang kita berpikir hal itu hanya rutinitas biasa. Masyarkat umum, pelajar mahasiswa, maupun para pejabat dan para pegawai pemerintah lainnya juga melaksanakan kegiatan tersebut. Inilah bentuk kecil dari nasionalisme, kegiatan ini mengingatkan kita, untuk terus menjaga dan membangun bangsa ini. Dengan mengibarkan sang bendera merah putih, suatu lambang kebanggaan yang diraih dengan keringat dan darah. Mampu menimbulkan hasrat kita untuk terus menyingsingkan lengan baju untuk negeri ini. Tapi mengapa? Jejak belasungkawa kembali mengukir, Contoh sederhana dan kecil ini kembali ternoda. Rendahnya kesadaran akan nasionalisme tak pernah terlintas dipikiran. Sedikit menginggat bagaimana kita menghormati bendera merah putih? Masih ada orang yang tidak berdiri dan menggangkat tangan saat lagu kebangsaan dinyanyikan, saat bendera kebanggaan dikibarkan. Siapakah mereka? Masyrakat umum, mahasiswa atau bahkan pejabat pemerintah. Contoh lainnya yang lebih akurat, ternyata masih ada orang-orang yang tidak bisa menghapal lagu Indonesia Raya. Pahit, sedih dan getir bagaimana bisa kita membanggakan negeri ini, jika kita tidak tahu bagaimana bangsa ini sesungguhnya.

Sedikit menoleh kebelakang, perputaran perubahan zaman, dengan himpitan era globalisasi membawa kita ke arah yang terpuruk dan lupa akan tanggung jawab dan kewajiban kita untuk bangsa ini. Misalnya, dengan tuntutan perkembangan zaman, pesatnya peningkatan Iptek dan tekhnologi membawa kita/ pemuda khususnya lupa akan tugas dan kewajiban. Hal ini akan membawa kita menjadi individu/masyrakat tertinggal atau terbelakang sehingga kita lupa akan cita-cita negeri. Seiring pesatnya tekhnologi individu justru menjadi “budak” dari suatu sistem atau perlengkapan iptek. Individu yang seharusnya menjadi subjek malah menjadi objek dari sistem/perlengkapan tersebut. Lalu mengapa demikian? Hal ini dikarenakan individu membuat dirinya jatuh akan gemerlap duniawi, tenggelam akan hasrat dan kemilaunya hiburan/kesenangan sehingga kita menjadi lupa diri. Berimbas menjadikan individu sebagai hamba dari teknologi digital. Sebuah objek lagi bahwa jejak belasungkawa negeri ini kembali tersirat. Contoh konkret yang dialami pemuda dengan pesatnya perkembangan tekhnologi, yakni para mahasiswa, pelajar atau pegawai yang terjangkit virus “online”. Banyak waktu tersita untuk sekedar bersuka ria di dunia maya. Tanpa disadari menjadikan diri kita ketagihan bahkan melupakan tugas dan tanggung jawab. Perlunya pengendalian waktu, sehingga menjadikan kita sebagai individu yang cermat dan selalu bermanfaat. Adanya keseimbangan antara kemampuan Iptek dan Imtag akan menjadikan pemuda yang berprestasi dan berbudi pekerti luhur.

Selanjutnya sebuah pertanyaan muncul, bagaimana menjadi pemuda yang berprestasi dan berbudi luhur. Mungkin semua orang tahu, ada ujaran mau pintar makanya belajar. Jawaban yang sederhana, lalu bagaimana dengan aplikasinya? Banyak yang angkat tangan untuk mengatasinya. Hal ini kembali lagi kepada motivasi diri yang dimiliki individu, baik dari internal dan eksternal. Kemudian bagaimana dengan sikap budi pekerti yang luhur? Semua kembali lagi pada kesadaran dan keteguhan akan suatu kenyakian yang ada dalam diri. Sejauh mana mampu bertahan untuk menjadi seseorang yang terbaik. Sebesar mana prinsip untuk teguh dalam pertahanan diri melawan tantangan. Semua kegiatan ini memerlukan dorongan dari berbagai faktor, baik dari lingkungan maupun dari diri sendiri.

Sedikit demi sedikit jejak belasungkawa negeri ini terkikis, atas kinerja anak bangsa. Dengan bertahap semangat nasionalisme bangkit, membawa ke gerbang baru yang membawa harapan. Banyak hal yang dilakukan untuk membangkitkan jiwa nasionalisme, misalnya melaksanakan kegiatan-kegiatan untuk masyarakat dan kelompok-kelompok tertentu. Misalnya yang selalu kita lakukan yaitu memperingati hari-hari besar nasional, bukan hanya kebangkitan nasional. Melaksanakan kegiatan kependidikan dengan tambahan kegiatan nasionalisme, yaitu dengan kegiatan sederhana seperti ekstrakulikuler disekolah. Bukan hanya khusus kegiatan pramuka atau paskibra saja, tetapi kegiatan seni juga bisa dikaitkan dengan nasionalisme. Misalnya pementasann drama mengenai tokoh sejarah atau pahlawan. Hal kecil lain, dengan lebih mencintai dan menghargai apa yang kita miliki (bansa ini) dengan menjaga serta melestarikannya adalah bentuk nasionalisme. Sedikit contoh lugas, kegiatan menulis esai nasionalisme ini juga membangkitkan semangat pemuda untuk cinta tanah air. Menyadarkan bahwa pentingnya peranan pemuda dalam pembangunan dan berusaha sesungguhnya untuk menjadi Indonesia.

Cerpen

Rabu, 14 Oktober 2009


Cintailah Sahabatku itu

Sahabat layaknya matahari
yang menjadi sumber energi bagi kehidupan
Mita menuliskan kata-kata mutiara yang ia ciptakan sendiri diatas secarik kertas biru terbuat dari bahan karton tebal dan ia letakkan dalam sebuah buku catatannya. Cewek cantik berambut keriting dan berkulit sawo matang itu duduk disudut dekat pohon di salah satu jajaran kursi yang berderet di taman kampusnya. Suasana kampus siang itu sepi, hanya ada beberapa mahasiswa yang duduk di taman menikmati suasana siang yang mendung dan berangin. Daun-daun kering berguguran di hempas angin semilir. Mita menghela napas panjang sambil menutup bukunya. Tampak kerisauan terpancar dari raut wajahnya. Liku-liku garis wajahnya seolah-olah melambangkan ia memang sedang memiliki masalah.
“Hai Mita apa kabar lo?
Sapa Reza sahabatnya yang sudah beberapa minggu ini tak ia temui. Mita hanya membalas sapaan Reza dengan seyum muram. Tetapi, seyum muram itu sedikit memancarkan cahaya semu, terlihat ada sedikit bahagia terpancar diwajahnya. Mita tetap terdiam, sementara Reza duduk disebelahnya terus memperhatikan perubahan sikap sahabatnya beberapa minggu ini.
“Kenapa lo akhir-akhir ini jadi aneh sih?” tanya Reza sambil memberikan seyum manis pada sahabatnya ini.
“Setiap kali aku sms nggak pernah dibales, terus telpon aku nggak pernah diangkat.”
“Lagi sibuk ya? Banyak tugas dari dosen atau lagi sibuk sama kegiatan tari lo?”
“Wah! Kalo gitu sekarang lagi banyak job ya? Boleh nih, nraktir gue makan siang di kantin Bu Sri.”
“Gue nggak apa-apa kok” jawab Mita singkat.
“Ya, elo jawabnya gitu aja.”
Melihat sahabatnya murung Reza tidak mau bertanya macam-macam lagi. Kemudian ia menceritakan sebuah cerita lucu mengenai kancil dan kura-kura dalam versinya sendiri dan itu hanya membuat simpul senyum terukir dibibir Mita. Ia hanya mendengarkan dan menatap wajah Reza yang bercerita dengan mengebu-gebu. Mita sedikit terhibur karena ia memang telah lama tidak bertemu sahabatnya yang diam-diam ia sukai. Mita tidak tahu kenapa ia merasa galau akhir-akhir ini. Setelah kembalinya Shely sahabatnya dari luar kota, bukan malah membuatnya senang tetapi malah seperti ini. Semenjak Shely kembali kesini ia sudah jarang bertemu Reza karena Shely selalu mengajak Reza jalan-jalan. Ia selalu meminta bantuan ini dan itu atau hanya sekedar minta anter-jemput kesana kemari. Oleh karena itu beberapa minggu ini Reza sulit sekali ditemui.
“Oh...... iya........ kemarin gue beli kaset VCD Rihana katanya lo suka ma lagu-lagunya lo mau pinjem nggak? Reza menawarkan sebuah kaset dan membuka tasnya mencari-cari. Tas berwarna hitam-kebiruan dan bermotif kotak-kotak kecil di salah satu tepi. Setelah mengacak-ngacak isi tasnya ia menemukan dan memperlihatkan pada Mita. Mita meraihnya dan membaca covernya. Ia berguman didalam hati “huh.. ternyata dia masih inget kalo kemaren aku mencari kaset ini”.
“Emang buat apa sih?”
“Ada deh!”
Reza tidak mau bertanya lagi jika Mita sudah mengatakan hal itu. Ia sudah paham betul karakteristik sobat karibnya yang satu ini. Itu berarti Reza tidak perlu bertanya karena pastinya kaset itu untuk keperluan latihan nari karena selain seorang mahasiswi Mita juga gabung di sanggar tari terkemuka.
Mereka berdua tertawa lepas saat Reza kembali menceritakan cerita lucu yang ia baca di salah satu situs internet. Reza menceritakan dengan gaya ngocol dan lucu, saat ia memperagakan dirinya seolah-olah pingsan dan seketika bangun lagi. Mita merasakan angin segar menerpa wajahnya saat melihat senyum Reza terukir manis dan indah dari bibirnya yang tipis. Ia merasa bahagia bisa bersama sahabatnya lagi. Perasaan gundah dan sedih dalam beberapa minggu ini hilang seketika saat berada didekat orang yang disayanginya.
Tiba-tiba terdengar tawa anak kecil dan ternyata suara itu berasal dari ringtone handphonenya Reza. Mita sudah hapal bahwa nada itu dipakai Reza untuk tanda panggilan masuk di hanphonenya karena Reza tidak pernah mengganti ringtone handphonenya sedangkan untuk nada sms masuk Reza memakai ringtone lagu Nidji Sahabat.
Reza mengangkat telpon dan dari pembicaraan yang didengar Mita yang menelpon adalah Shely. Mita hanya diam ia cuma mendengarkan semua ucapan Reza.
“Mita tepon dari Shely nih” ucap Reza sambil memasukkan handphonenya kedalam sakunya. “Shely ngajak makan siang di kafe Butik Merah deket sini. Katanya sih dia lagi jalan-jalan deket sini. Terus inget kalo kita kuliah di daerah sini makanya dia ngajak ketemu”.
“Oh” jawab Mita.
“Ayo kita kesana, lo bentar lagi nggak ada kuliah kan?”.
“Nggak ah! Aku mau ke perpus aja.”
“Udah, ayo buruan.”
* * *
Reza dan Mita hanya membutuhkan waktu kurang lebih 5 menit agar bisa tiba di kafe yang di maksud. Kafe Butik Merah bernuansa alam dengan tatanan hiasan minimalis, dengan paduan kursi-kursi dari bambu dan meja dari bahan yang sama. Nuansa tenang tercipta dengan alunan musik lembut serta paduan berbagai pigura sederhana dan tanaman-tanaman hias yang ditata rapi di sudut-sudut kafe.
Mita sudah bertemu dengan Shely sahabatnya. Namun ada perasaan aneh dihatinya. Ia merasa bersalah pada Shely karena telah menyukai Reza yang dulu waktu SMA adalah ngebetannya Shely. Mita tidak tahu kapan pastinya ia mulai menyukai Reza, rasa itu ada tanpa ia sadari, karena seiring kebersamaanya dengan Reza sudah berlangsung cukup lama. Setelah lulus SMA ia kuliah bersama Reza di kampus yang sama sedangkan Shely kuliah di luar kota dan tinggal bersama tantenya. Semenjak Shely pindah keluar kota ia memang masih berkomunikasi dengan Shely sama halnya Reza namun komunikasi itu tidak bisa berlangsung lama. Karena perbedaan jarak dan waktu yang cukup jauh dan kesibukan masing-masing maka hanya komunikasi formalitas sebagai teman dan hanya basa-basi untuk sekedar bertanya kabar.
Mita terseyum pada sahabat karibnya itu, ia ingin menceritakan banyak hal pada sahabatnya. Karena dulu saat SMA tidak ada satu hal pun yang tidak mereka ceritakan satu sama lain. Tapi, sekarang Mita tak ingin berkata banyak hal.
Shely tidak berubah dari semenjak SMA maupun hingga saat ia terakhir bertemu kemarin waktu Shely baru datang kesini. Ia tetap cantik ramah dan ceria. Namun dandanan terlihat lebih dewasa dan rapi. Berbeda saat SMA yang terlihat lebih sporty dan energic.
“Hei, Mita lo kemana aja sih? Gue kangen nih! Udah lama kan kita nggak curhat lagi. Terus kenapa sms gue nggak di bales? Gue nelpon kerumah lo nggak ada, kayaknya sibuk bener. Kata Reza lo sibuk kuliah ya?”
Mita menjawab pertanyaan Shely dan mereka ngobrol banyak hal. Shely kembali bernostalgia saat mereka di duduk di bangku SMA. Shely juga menanyakan kabar kedua sahabat mereka yang lain Rena dan Anggi.
“Cie..cie.. lupa nih mau gue, maklum dah ketemu temen lama. Oh..iya.. gue ada sulap mau lihat nggak?”
“Emang lo bisa?” tanya Shely.
“Iya, kok gue nggak tahu , lo bisa sulap” tanya Mita.
“Gue juga baru belajar sih.”
“Oh, pantes” ucap Mita lagi.
“Ya, elo Mita! Matahin semangat gue aja.”
“Yo wess tunjukin sana kalo emang bisa.”
Reza meminta tolong sama pelayan kafe untuk mengambil perlengkapnya. Ia membutuhkan 1 buah gelas dengan piring berukuran kecil yang biasa dipakai untuk tatakan gelas serta 1 batang rokok.
Reza meletakkan gelas diatas meja kemudian ia mulai beratraksi tangannya bergerak lincah bak Deddy Corbuzier. Ia memasukan rokok kedalam gelas dan menutupnya dengan piring kecil. Setelah beberapa lama ia kemudian membuka gelas dan wuss! Seketika keluar asap dari gelas tersebut.
Mita dan Shely kaget. Mereka cukup terkesima melihat aksi Reza yang sekarang udah jadi Demian sang ilusionist, sambil terseyum bangga Reza nyengir menunjukan kebolehannya.
Handphone Shely berdering, dengan cepat ia langsung mengangkatnya.
“Ya, Doni kenapa?”
“Iya-iya, nanti gue hubungin lo lagi terus kita bicarain lagi pas gue balik kesana” ucap Shely dan menutup handphone kesayangannya yang berwarna pink kehitam-hitaman.
“Siapa Shely?’ tanya Reza.
“Doni” jawab Shely singkat yang membuat suasana hening.
“Oh.iya… lo kapan pulang ke Bandung, Shely?” tanya Mita memecah kesunyian.
“Gue nggak mau balik kesana, karena gue lebih suka disini. Disini gue punya temen-temen yang gue sayangi dan ada juga keluarga gue yang selalu sayang sama aku. Tapi, mama tetep maksa buat aku ngelanjutin kuliah disana. Sebenarnya tahun ini aku ada rencana mau masuk IKJ biar bisa satu kampus sama kalian.
“Eh…. Shel, gue mau balik dulu ke kampus nih. Gue ada kuliah bentar lagi” ujar Mita sambil cepat-cepat menghabiskan minumannya.
“Gue, juga ya Shely, gue mau cari buku di perpustakaan buat ngerjain tugas”.
“Bener lo mau balik juga?”
“Iya” jawab Reza datar.
Setelah beberapa menit, Reza dan Mita keluar dari kafe. Mereka berjalan menuju kampus.
“Oh… iya.. gue baru inget. Kemarin Rangga nanyain lo, Mita. Dia nanya lo udah punya pacar apa belom?” pertanyaan ini membuat Mita terkejut. Kenapa disaat-saat seperti ini Reza memberitahukan hal ini.
“Kok, dia nanya gitu?” tanya Mita bingung.
“Aduh… Mita, lo tuh lugu banget ya? Rangga tuh udah lama naksir sama lo. Tapi, dia takut ngedeketin lo. Dia kira lo udah punya pacar. Tapi, ngomong-ngomong menurut lo dia gimana? Keren nggak?
“Rangga temen sekelas lo itu. Yang gayanya rada selengean gitu?”
“Wuih…..! jangan salah lo, sinting-sinting kayak gitu dia baik. Nggak kayak Felix mantan pacar lo yang ninggalin lo gitu aja” satu lagi ucapan Reza yang membuat Mita terkejut. Sudah lama nama itu tak disebut, sejak orangnya lenyap dan hilang ditelan bumi.
“Iya….iya… menurut gue dia baik dan ramah. Asyik juga kalo diajak ngobrol terus yang jelas dia jauh lebih cakep dari lo”.
“Eitss… jangan salah lo, gue kan jauh lebih ganteng.
“He..he…he…. Percaya diri amat lo, ngaca dulu tuh dirumah gue ada kaca yang gede. Oh.. iya…. Ngomong-ngomong lo seneng nggak kalo Shely kuliah bareng kita?”
“Kalo lo gimana?” Reza balik bertanya.
“Ya, senenglah. Dia kan temen gue.
“Gue juga seneng Shely kan juga temen gue”.
“Cie..cie… ngaku aja lo seneng kan?’
“Napa, lo cemburu ya?” pertanyaan ini membuat hati Mita mencelos, ia sekali lagi terkejut. Ada perasaan yang menginginkan ia menjawab iya. Tetapi dia tidak akan sanggup mengatakan hal itu.
“Wuih…….! Siapa yang cemburu, pede banget sih lo?”.
“Oh.. iya.. nih, lihat foto kami berempat. Ini foto kami pas masih kelas satu SMA. Ini aku, Shely yang tetap cantik sampai sekarang, disebelahnya Anggi dan satunya lagi Rena dan ini gue. Gue tetap manis ya sampai sekarang?” ucap Mita narsis.
“Ha.ha… Pede banget si lo!”.
“Iya.. iya…. Emang Shely yang paling cantik. Gue ngerti kok, lo pasti masih suka sama dia.
Reza hanya diam mendengar ucapan Mita.
“Kalo lo emang suka sama dia cintailah sababatku itu”.
Reza tetap diam dan terus melangkah. Beberapa menit suasana menjadi sunyi, keduanya hanya diam seribu bahasa.
“Reza, gue baru inget. Hebat banget lo tadi, emang belajar sulap di mana?” tanya Mita yang memulai pembicaraan dengan tema yang berbeda. Karena suasana sunyi seperti tadi membuat keadaan semakin tak mengenakan.
“Oh.. itu…. Tapi, jangan kasi tau siapa-siapa ya rahasianya. Karena lo orang yang paling gue percaya, ya gue kasi tahu. Tapi, janji jangan lo bocorin rahasianya, nanti bukan sulap lagi.
“Iya, gue janji” jawab Mita.
“Lo inget nggak pas kemaren kita ngeliat mbak Siska ngerjain tugas prakteknnya. Dari sana aku tahu kalo campuran ammoniak dan hydrochloric yang diletakkan di ruangan tertutup bisa menghasilkan asap. Nah, aku coba aja, dan ternyata bisa. Aku masukin aja ke dua bahan itu ke dalam gelas dan kemudian ditutup rapat secara diam-diam. Terus ada batang rokok yang mengalihkan perhatian. Biar kelihatan tambah menyakinkan gitu”.
“Oh…. gitu, lo pinter juga ya”.
“Ya, iyalah!” ucap Reza bangga.
“Pinter ngibulin orang” tambah Mita sambil tersenyum
* * *
Saat ini jam menunjukan pukul 4 sore, Mita ia berdiri di depan gerbang kampus. Suasana kampus yang masih cukup ramai walaupun hari sudah sore, suasana kampus semakin berisik. Apalagi hiruk-pikuk daerah perkotaan yang menyesakkan nafas. Reza muncul dari kejauhan dan langsung menghampiri Mita.
“Mita, ntar malem gue kerumah lo ya. Udah lama gue nggak main catur ma bokap lo” ucap Reza.
“Boleh aja, tapi nggak tahu mungkin nanti malem ayah gue sibuk jadi kayaknya nggak bisa”.
“Oh…!” ujar Reza datar.
“Hai, bro!” sapa seorang cowok yang datang sambil menepuk pundak Reza. “Lo jadi kan nanti mo mampir kerumah Mamat buat ngerjain tugas kelompok kita yang belom selesai?”.
Reza bengong, ia berusaha mengingat apakah ia memang berjanji demikian.
“Hai Mita! gue Rangga masih inget kan?”
“Iya, Cinta masih inget kok!” ucap Mita sambil terseyum.
“Ya ampun Mita, lo kira ini film Ada Apa dengan Cinta kali” ucap Reza menimpali.
Rangga nyengir sepertinya ia suka mendengar jawaban Mita. Wajah Rangga yang putih bersih dan tubuhnya yang tinggi dan berisi membuatnya memang seperti Nicholas Saputra namun perbedaannya hanya rambut Rangga yang lurus dan panjang. Rangga versi ini memakai mode rambut poni lempar yang lagi tren saat ini.
“Mita mau nggak kalo lo gue anterin, kan kasian lo balik sendiri. Reza mau ke rumah Mamat jadi nggak apa-apa ya kalo pulang bareng gue?”
“Sebenarnya gue mau aja, tapi kayaknya nggak usah nanti ngerepotin”.
“Nggak kok, gue nggak ngerasa direpotin”.
Reza bingung, ia merasa tidak punya janji dengan Mamat teman sekelasnya. Tapi, saat melihat isyarat Rangga. Ia baru sadar kalo Rangga memang ingin PDKT sama Mita. Ia hanya memperhatikan dari jauh saat Rangga dan Mita pergi.

* * *
Besok paginya Rangga dan Reza duduk di kelas, mereka sedang menunggu dosen. Pagi ini mereka datang tepat waktu karena tidak mau mencari masalah dengan dosen killer.
“Eja, tipe cowok yang Mita suka seperti apa sih?”
“Nggak tahu, kenapa lo nggak nanya sendiri?”
“Iya, sih. Gue emang mau nanya tapi nanti dulu ah!. Oh..iya… Lo tahu nggak kemaren pas gue nganterin dia kerumah ternyata Mita tuh ramah dan asyik juga. Terus keluarganya juga bersahabat gitu. Gue aja kemaren di ajak bokapnya main catur, terus nyokapnya juga masakin gue kroket kentang.
“Oh… gitu, bukannya kata Mita ayahnya sibuk?” tapi lo beruntung banget ya. Tahu nggak kalo gue kesana ibunya malah nyuruh gue bikin minuman sendiri. Bokapnya juga udah jarang main catur ma gue, paling-paling si Dito adiknya yang ngajak main kelereng atau perang-perangan. Terus kalo nggak tuh si Syntia sepupunya yang minta bantuin ngerjain PR”.
“Ya, itu emang nasib lo kali. Gara-gara itu gue jadi nambah demen sama Mita, Eja”. Terus gue yakin banget pasti Mita juga suka sama gue”.
“Ya, udah kalo gitu cintailah dan sayangilah sahabat gue itu. Tapi, lo janji sama gue lo harus serius sama dia”. Eh.. iya.. nanti kita makan dikantin ya, ajak Mita juga. Tapi, tenang aja nanti gue yang traktir.
“Wiuh! Serius lo?”
“Iya”.
“Tapi, maaf ya gue sudah janji makan sama temen gue”.
Itu kata-kata terakhir yang bisa di ucapkan Rangga, karena dosen yang mereka tunggu-tunggu sudah datang.

* * *
Reza bosan sekali siang ini, setelah makan dikantin sendiri ia jalan-jalan sendiri di mall. Ia berjalan tak tentu arah, ia hanya berkeliling dan berhenti saat ada barang yang menarik perhatiannya. Reza sudah beberapa kali menghubungi Mita dan Rangga, namun handphonenya Mita mail-box sedangkan Rangga nggak diangkat dan sekali diangkat direject. Reza juga sudah menelpon kerumah Mita, tapi kata ibunya Mita belum pulang.
“Mereka kemana ya? Apa mereka lagi nge-date ya?” tanya Reza dalam hati. Pikirannya melayang ia memikirkan beberapa kemungkinan keberadaan mereka berdua. Reza merasa sedih, ia baru sadar bahwa hari ini tepat tanggal 22 Mei yang merupakan hari ulang tahunnya. Ia merasa kecewa pada kedua sahabatnya.
“Reza” panggil Shely yang tiba-tiba muncul. “Ngapain lo disini sendirian?”
“Nggak kok, gue lagi bosen aja makanya gue jalan-jalan. Eh… lo ada waktunya tememnin gue makan yuk!”
“Aduh, nggak bisa mending lo temenin gue belanja. Gue mau beli baju kemeja nih”.
“Ya, udah nggak apa-apa gue bosen jalan sendirian” ucap Reza kemudian mereka berjalan menuju butik yang ada didekat restoran fast-food yang lekatnya tidak jauh mereka berdiri.
Shely memilih beberapa kemaja ia mencocokkan kemeja itu pada Reza. Reza hanya memperhatikan ia tidak tahu untuk siapa Shely membeli kemeja pria ini. Setelah lama memilih Shely membeli 2 buah kemeja. Mereka berjalan berkeliling mall mencari kemeja yang diinginkan Shely.
“Kalo boleh tahu kemeja itu buat siapa?”tanya Reza yang dari tadi penasaran.
“Buat lo” jawab Shely sambil mengambil bungkusan dari pelayan toko.
Kemudian mereka berjalan melangkah keluar.
“Ah.. yang bener nih?’ Terus yang satunya lagi untuk siapa?”
“Yang ini buat Doni”.
“Oh.. Doni, ucap Reza sambil mengganguk. Cowok yang nelpon lo pas kita makan bareng kemaren.
“Iya, tapi ini gue ada hadiah buat lo” ucap Shely sambil menyodorkan bungkusan itu.
“Selamat ulang tahun ya!” ucap Shely lagi sambil terseyum. Namun ucapan Shely ini membuat Reza terkejut. Reza hanya diam ia bingung apa yang harus ia katakan.
“Maaf ya, gue nggak inget ulang tahun lo. Tadi pagi gue dapet sms dari Mita katanya lo ulang tahun dan gue disuruh kerumah lo malam ini. Tapi, gue bingung kenapa lo ada disini?” Makanya gue kaget pas ketemu lo tadi, emang acaranya gak jadi ya? Rencananya tadi pas udah beli kado gue mau langsung kesana, tapi…….
“Tunggu sebentar” Reza memotong ucapan Shely dan mengambil handphone disakunya. Ia melihat jam dan sekarang menunjukan pukul 08.45. Ia melihat ada beberapa sms dari Mita yang belum ia baca. Reza terkejut melihat beberapa sms dari Mita dan ada juga dari Rangga. Ia baru sadar bahwa sejak dari tadi pagi dikelas ia men-sillent-kan handphonenya. “Gak ada suara dan gak ada getaran”. Jadi ia tidak menyadari bahwa ada beberapa sms baru yang masuk dan beberapa panggilan tak terjawab waktu ia jalan bareng Shely tadi.
Isi sms pertama dari Kak Randi yang menyuruhnya segera pulang karena ada masalah yang penting dan mendesak. Selanjutnya panggilan tak terjawab dari Mita dan Rangga yang tak terhitung jumlahnya.
Tanpa berpikir apapun lagi Reza segera bergegas. Ia turun dengan escalator dan menuju tempat parkir. Reza menghidupkan motornya dan langsung meluncur kerumahnya.

* * *

Reza berdiri di depan rumahnya, suasana sepi dan ia melirik jam bermerek Seiko itu yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu menunjukan pukul 10.06 menit, dengan langkah terengah-engah ia mengetuk pintu.
Pintu terbuka dan ada Kak Randi yang berpakaian setengah rapi dan terlihat sangat ngantuk dan lelah.
“Kamu kemana aja sih?’ tadi temen-temen kamu disini, mereka nyiapin pesta buat ngerayain ulang tahun kamu. Kasian tuh Mita, Rangga, Anggi, Rena, Taufik, Damar, Diska dan Maya kayaknya mereka kecewa banget sama kamu.
“Terus mereka kemana?”
“Sudah pulang, kamu sih sudah di tungguin dari tadi. Di telpon nggak diangkat-angkat. Udah sana dimakan kuenya terus tidur sudah malem.
“Iya, aku baru baca smsnya terus langsung pulang. Tapi, tadi aku kena macet”. Kak aku ke rumah Mita ya malam ini.
“Sudah besok pagi aja, besok kan hari minggu. Nggak enak ganggu orang tidur. Oh… iya… itu ada kado dari Mita, pasti kamu mau buka yang itu dulu kan” ucap Kak. Randi sambil menunjuk kado yang terletak di dekat kue.
Reza mengambil bungkusan itu dan membukanya. Kado itu berisi sebuah topi dan berupa kartu ucapan berwarna biru. Kartu itu berisi ucapan selamat ulang tahun dan tulisan :
“Jadilah seperti topi yang selalu melindungiku dari panasnya mentari”
Kemudian Reza mengambil handphone dan mencoba menghubungi Mita. Namun setelah terdengar nada tut…..tut….. berkali-kali bukan nada tunggu lagu J-Rock-Ceria yang terdengar saat ia menelpon Rangga. Nada itu masih tetap sama, tut….tut…….tut…. dan akhirnya………
Ternyata hasilnya nihil, tidak ada jawaban dari Mita.
“Duh…….. dia marah atau sudah tidur?” tanya Reza dalam hati. Saat ini ia masih berdiri di ruang tamu. Ia berpikir sambil memperhatikan hasil dekorasi yang dibuat teman-temannya.
“Sudah jangan dicoba lagi, mungkin dia sudah tidur” hibur Kak Randi yang melihat adiknya mondar-mandir kesana kemari.
Cukup lama Reza terus mencoba menghubungi Mita dan akhirnya.
“Mita, maafin gue ya” ucap Reza saat berhasil menghubungi Mita.
“Sebenernya gue marah sama lo?” tapi ngak bisa. Maaf ya baru diangkat. Gue tadi diberanda jendela ngeliatin bintang orion berjajar 3. Jadi gue nggak bisa marah”.
“Iya, seperti kata lo, kalo kita melihat bintang seperti melihat sinaran pancaran kebahagiaan”.
“Eh….. lo masih inget aja” ucap Mita.
1 pancaran sinar bintang
Mengukir kebahagian
Dan saat kita melihat bintang
Kita bisa melihat 1 seyum manismu
Itulah syair yang mereka ucapkan.
“ Iya, gue nggak lupa”.
“Eh.. iya..tapi tadi lo kemana?” tanya Mita lagi.
Reza terdiam, namun dengan tegas ia menajawab. “Gue tadi bareng Shely”.
Mita tak berbicara lagi. Namun Reza melanjutkan ucapannya.
“Makasih ya Mita atas kadonya dan izinkanlah aku menjadi sebuah topi yang akan selalu melindungimu dari teriknya matahari”.
Mita menghela nafas selanjutnya ia berkata “Iya, aku mengizinkannya namun berjanjilah………
Berjanjilah…….. untuk tidak menyuruhku mencintai sahabatmu” ucap Mita dengan perlahan namun perkataan itu dapat didengar jelas oleh Reza.
Iya, jawab Reza.
Satu hal lagi, berjanjilah untuk tetap bersamaku walaupun hanya sebagai sahabatmu.
Iya, aku berjanji’ jawab Reza lalu menutup telponnya.
Tamat