CERPEN

Rabu, 14 Oktober 2009



Sisa Molekul HARKITNAS

Satrio Aris Munandar, satu nama yang selalu ku ingat. Malam kelam dan angin berhembus syahdu seiring lambaian dan ucapan semoga lekas sembuh. Itulah satu kenangan terakhirku dengannya. Kurasa ada banyak perubahan darinya kala itu, senyumnya tak semanis dan secerah dulu saat remaja. Stres, kerja keras dan keringat telah mengubah semua. Mengubahnya menjadi seseorang yang kaku, serius dan tak berdaya. Sekarang dia hanya menjadi seorang pegawai disebuah perusahaan kecil Tapi dulu ia adalah sesorang yang selalu ku dambakan dan ku pikirkan, seseorang yang mengisi relung hatiku yang terdalam. Awan kelam yang disinari cahaya lembut bulan. Pikiran dan otakku merenung saat itu, takut akan kehilangan dan kesepian. Tiada lagi senyuman yang ia berikan dulul. Kenangan yang biru dan indah, membahasi hati dan pikiran. Masih lekang di otakku hingga kini, saat pertama kali aku bertemu dengannya kala itu. Dahulu, saat aku berseragam abu-abu dan kala aku masih belia, masih hendak berkembang dan mencari jalan baru. Tepat di pagi hari itu cerah bercahaya, lalu lintas padat dan ramai dengan celoteh riang kernet bus, aku beserta ke empat sahabatku. Kami hendak menuju Dinas Informasi dan Komunikasi, dengan sedikit tersesat hingga kami harus berjalan kaki. Sampai akhirnya kami temukan tempat yang paling bersejarah dalam hidupku.
Tanggal 24 Mei 2006, saat aku duduk di aula sambil menghapal teks naskah Pembukaan UUD 1945 didalam hati. Kurasakan ada yang berbeda, ada yang tak biasa. Tak nyaman, pikiranku tak fokus tapi aku mencoba berkonsentrasi. Pagi ini aku mengikuti lomba Pengucapan Teks Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 memperingati Hari Kebangkitan Nasional yang jatuh 20 Mei lalu. Bersejarah memang buatku, karena ku alami pengalaman yang mengajariku untuk selalu belajar dengan gigih dan kerja keras. Menghapal teks mungkin mudah, tapi untuk tetap berkonsentrasi dan mengucapkan intonasi, artikulasi dan segala macamnya itu cukup sulit. Mengucapkan dengan sempurna dengan gesture yang apik dan tegas.
Disudut sana ada seseorang yang memperhatikanku, sehingga pikiran dan konsentrasiku tak fokus. Tapi aku tak perduli, aku harus gigih dan berjuang. Sebuah wujud kesadaranku bahwa cara ini pula adalah salah satu wujud menyadari kebangkitan nasional dalam diriku. Tuk selalu belajar berjuang dan bersemangat. Bukan hanya sekedar hal-hal besar yang dilakukan orang tangguh diluar sana. Dengan otot dan teriakan mereka saat berorasi.
“Ada apa?” tanya salah satu sahabatku yang menyadari ada sesuatu yang ganjil pada diriku.
“Tak apa, jawabku datar.
“Kau tahu anak yang duduk di sebelah sana selalu memperhatikan kearah kita”, ucap salah satu temanku lagi.
“Oh.... mereka berdua”. Aku tahu mereka tetapi tak begitu akrab.
Aku hanya mendengarkan percakapan kedua sahabatku sambil terus berkonsentrasi.
* * *
Itulah sepenggal kisah kecilku dulu, aku masih ingat dengan jelas. Aku senang dengan perjuanganku aku berhasil mendapat iuara, walaupun hanya juara harapan ketiga. Kemudian anak itulah yang juara pertama, ya dia Satrio Ari Nugroho. Seseorang yang beberapa bulan berikutnya aku dipertemukan lagi dengannya. Aku tahu bagaimana dia, siapa dia dan bagaimana dia. Entah jodoh atau takdir, aku berteman dekat dengan sahabatnya dan timbul berbagai masalah sesudahnya. Membuat masa SMAku benar-benar berharga.
Ku ingat masa itu, saat dia datang ke sekolahku bersama sahabat-sahabatnya. Dulu ada acara resmi disekolahku, yang mengundang beberapa siswa dari perwakilan berbagai SMA. Ada Ario, sahabatnya yang juga begitu akrab denganku. Disinilah semua berawal, saat terjadi salah pernafsiran. Saat ku ketahui, Ario menaruh harapan untukku. Enyah semua dari pikiran ku, dan selanjutnya situasi menjadi tak nyaman. Aku tak bisa memilih Satrio, karena ada Ario di belakangku. Satu hal yang ku ingat ucapannya yang begitu membekas dalam benakku hingga kini. Aku akan bahagia jika kau memang memilihnya.
Semua ini tak benar, berjalan di luar jalur. Tapi, tak berdaya yang bisa kulakukan hanya menghapus sisa molekul cintaku untuknya. Semua itu hanya ganjaran dari 1 lambang yang disebut persahabatan. Tak ayal membuatku jatuh dan terpuruk ini tak adil. Tapi ini benar, sebuah keinginan harapan dan cita terkadang dengan usaha dan kerja keras di raih, tetapi ada kalanya harus direlakan untuk 1 buah lambang kebaikan.
Entah kenapa hingga kini, hingga telah sekian kali peringatan kebangkitan nasional. Aku tetap mengingatnya dan aku ingat kembali ke masa itu. Masa dimana aku belajar pentingnya tujuan, usaha dan keteguhan hati. Mengingatkan aku kembali bahwa ego dan emosi tertahan dan terbelenggu oleh rakitan sisa-sisa kebaikan dan kepentingan lain yang lebih darurat. Sebenarnya aku sadar sejarah diingat bukan hanya tuk sekedar berangan-angan. Tetapi jadikanlah momentum itu sebagai pedoman, sebagai pengalaman tuk menjadi sesorang yang lebih baik. Bukan hanya menjadi katak dalam tempurung yang hanya diam dan tetap di tempat yang sama. Atau hanya sekedar jalan di tempat.
Salah satu nesehat sobatku, kembalilah ke masa kini, ukirlah kenangan dan sejarah baru di hari kebangkitan nasional ini. Jangan hanya terkurung dalam tragedi melankolis manis yang membuatmu hanyut dan tenggelam. Bangkit dan bangunlah molekul-molekul kehidupan baru, yang membawa titik terang dan kecerian. Kuingat memang sisa-sisa molekul Harkitnas waktu itu, yang membimbing dan mengajariku tuk selalu berusaha dan bekerja keras dan berkorban untuk satu tujuan kebaikan.
“Sama halnya dengan bangsa ini, lupakanlah berbagai kenangan dan tragedi, maupun budaya atau sikap yang hanya mengikis dan memperburuk masa ini. Galilah hanya sisa molekul yang berwarna positif yang membawa keagungan. Namun, jika hanya mengenang tanpa pergerakan semua hanya seperti rumah tak bertuan. Tingkah dan kebiasaan yang melambat tanpa kita sadari membawa kita ke lubang yang lebih dalam”.
Itulah sebait kutipan yang ku ucapakan saat aku berada di tengah forum diskusi yang bertemakan Jayalah Terus Indonesiaku. Saat ini aku telah berdiri dan membangun kenangan baru, tuk diriku sendiri dan orang lain yang berada disekitarku.
Jujur kenangan dulu tak bisa di hapus, dan tak kan lekang oleh waktu. Walaupun hingga kini aku tlah dewasa dan bekerja di Senayan. Tapi, aku akan selalu belajar di balik makna dan hikmah peristiwa itu. Tuk tetap selalu gigih, berjuang yakin dan berusaha menggapai asa dan cita. Lalu hingga kini nama Satrio Ari Nugroho hanya akan terukir di benakku dan menjadi suatu yang tak berwujud dan hanya seberkas lalu.