Cerpen NAsi KePel Cinta

Selasa, 20 Oktober 2009


NASI KEPEL CINTA

Aku berdiri sendiri, di sebuah deretan bangunan yang sederhana. Bangunan itu tampak berubah, dulu saat aku masih muda dan hijau, ku ingat betul bentuk jejak kakiku bermain disana. Bangunan yang mengukir sejarah dalam kehidupanku. Kini mungkin tampak lebih kecil. Lapangan juga bertambah sempit dan pagar yang dulunya tinggi dan selalu sulit ku panjati. Kini berubah menjadi tembok-tembok pagar yang pendek dan mungkin mudah ku lompati. Sebuah ruang sederhana, paling pojok dari deretan koridor dan sebuah taman kecil di depannya. Ada kisah klasik merdu disana. Ini bangunan tua, entah berapa lama umurnya. Yang ku tahu sudah hampir kurang lebih sembilan tahun aku tak pernah kemari. Bukan sombong atau lupa, tapi tak ayal waktu menggilasku dengan ribuan dan teroran aktivitas baru. Berderu senang hatiku kini, saat ku pandangi, sudut-sudut dan sisi bangunan ini. Semua mengandung kenangan, di bangunan sederhana, tua dan tak tampak angkuh dari lainnya.
Tujuan pertama ku tertuju pada sebuah tiang bendera yang kokoh tinggi berdiri. Semilir hati mengingat, dulu kami biasa menaikan bendera di upacara hari Senin. Lucu sedikit ku ingat, bagaimana reaksiku dulu. Saat ku gerakkan kaki melangkah tegap maju. Mengibarkan bendera merah putih. Laju terus ku ingat saat itu tiang itu begitu tinggi. Tapi kini tampak sederhana dan sedikit memudar dan berkarat. Selanjutnya ku alihkan kedua matakku di tengah lapangan, disebuah titik putih. Tengah dan berhadapan lurus dengan tiang bendera. Dulu disana biasanya berdiri seorang pemimpin upacara. Berteriak dan berseru memimpin jalannya upacara. Syukurlah, aku masih ingat dengan suara itu, seorang temanku yang sedang mencari ilmu diluar kota. Dia adalah Doni, ketua kelas kami yang cerdas dan bintang kelas. Ku ingat betul dulu sifatnya yang polos, dan sederhana bahkan kadang sedikit kaku. Sekarang aku bangga berdiri disini, karena ini adalah sekolah dasar yang membantuku mengeja dan berucap. Mengajari bagaimana awal kehidupan, mengajariku untuk tetap bersemangat. Kemudian membekaskan dihatiku ribuan kenangan manis bersama sahabatku. Sekolah Dasar Negeri 143 Palembang, sebuah SD yang sederhana di daerah pinggiran kota. Bagitu sederhana, tapi begitu mewah dan berkesan dihatiku. Khususnya dihati kami semua.
Semilir angin berhembus, mengibaskan rambutku, menenangkan hatiku dan membantuku kembali mengingat. Disini, dilapangan ini dulu kami sering bermain, dengan semua teman sekelas. Bermain bola kaki bahkan yang paling berkesan adalah bermain bola kasti. Dulu disini masih rumput, dengan tanah kering sehingga jika hujan mengotori sepatu kami dengan lumpur. Bercak coklat hitam dan kelabu menghiasi sepatu butut itu. Didalam memoriku juga tersimpan kenangan lain, dulu biasanya kami juga bermain kasti di lapangan sebuah komplek perumahan. Komplek yang tak jauh dari sini. Di sekitar kompleks itu terdapat anak Sungai Musi dan ada juga menara kapal disana. Setiap sore kami bermain bola kasti disana, lalu terkadang kami memutari jalan-jalan perumahan yang sepi dengan sepeda kami yang sederhana.
Aku menatap lurus, melihat cahaya siang sanur meratapi, serpihan udara yang dilintasi. Menguap asap-asap panas yang menyesakkan pengap di udara. Aku merasa begitu sendu siang ini. Lemah gemulai tak perdaya, melawan asa dan ego perasaan ini. Perasaan yang selalu menuntut dan memaksa, membuat aku merintih melangkah menatap laju jalanku. Aku melangkah, tapi mataku berusaha menoleh ke belakang. Mengharapkan sedikit senyum darinya yang memanggilku. Menyapaku dan mengukirkan senyuman dan masa baru di lingkungan hidupku. Sama seperti dulu, aku melihat senyum manisnya. Tawa dan keceriannya begitu membahana membuat senyum ini selalu ada di relung hati. Tak berapa lama tiba-tiba aku tersadar, ada seseorang yang meraihku. Seorang gadis manis sahabatku, teman SD-ku.
“Masih mengingat dia?” tanya gadis itu sambil menatap poros lapangan.
“Tak sedikitpun aku bisa berhenti,” ucapku pelan sambil melamun datar.
“Waktu tak dapat kembali, itu hanya sebuah kenangan”, jawabnya lagi menatap mataku dan menenangkanku.
“Sama juga sepertinya yang takkan pernah kembali untukku.”
“Kau tahu itu, Ran. Itu sudah 9 tahun yang lalu. Kau ingat jawaban Kepala Sekolah, kemarin. Maaf nak, itu sudah lama sekali. Kami tidak bisa menemukan data-datanya. Tak ada satu pun nama teman kita anggkatan 2001 ada disini. Berhentilah!!! Ucap Clara, kali ini ia menyakinkan aku dengan memegang bahuku. Ia ingin menyakinkan aku bahwa semua itu hanya mimpi.
“Tak usah menghiburku, aku tau kau juga masih berharap kan?” tanyaku mengalihkan perhatiannya.
“Apa maksudmu?’ Tanya Clara singkat.
“Doni, jawabku.
“Doni cuma masa lalu, hanya sekedar cinta monyet”. Aku dan dia tidak ada satu hal apapun.” Clara menunduk, menatap ujung jari kakinya. Menyoroti serpihan-serpihan debu di lapangan itu, aku tak bisa melihat matanya yang kelam dan sendu itu. Kurasakan getar rasa yang berbeda dari gerak-geriknya saat ku sebut nama Doni, didepannya.
“Masa lalu, tapi semuanya masih tersimpan baik di hati kita semua. Benarkan? Jujurlah akan perasaanmu Clara. Aku tahu, kau sahabat terdekatku kini. Saat terakhir Doni mengirimkan pesan singkat itu, ku lihat cahaya senyum dimatamu.
Mendengar itu, Clara terdiam. Perlahan ia melangkah menjauh. Ya, meninggalkanku sendiri disini.

***
Sore ini kami melanjutkan pencarian, ya mencari Tyas. Gadis yang selalu mengisi relung jiwaku selama ini. Angkuh egois memang, menyembunyikan semua dengan liku dan saduran yang membutakan. Sebenarnya kami bukan hanya mencari Tyas, tetapi mencari rumah teman-teman SD kami. Aku, Angga, Clara dan Sita dan Rian. Crew Celebek 143 (CLBK alias Cinta Lama Bersemi Kembali). Tujuan kami sama, menyambung tali silaturahmi. Menemukan bermacam-macam nama lama yang sudah tertandai dihati kami semua. Di bulan ramadhan, masa putih bersih dan mewangi untuk menebar kebaikan. Dengan nama Reuni mungkin, atau hanya sekedar Buka Bersama untuk melepas rindu.
Rumah pertama, di rumah Maya. Kami berlima menyapa dan bertanya. Tapi semua nihil. Tak kami temukan Maya, kata sang tuan rumah Maya sedang bekerja. Sebelah kanan, rumah berwarna cerah mewah dan sepi. Sedikit berubah, bertambah anggun dan indah. Berderet kisi-kisi emas dan pintu, jendela yang tegap. Gapura depan yang kokoh, dengan pagar berlinang dan berdiri angkuh. Berbaris mobil dan pot-pot bunga berjajar rapi, sedikit penuh sesak dengan pohon dan rerumputan. Itu rumah Tedi, teman kami yang bertubuh tinggi, tegap dan gagah.
Kami mengetuk dan kami temukan rumah yang serasi padu padan. Dari semua perabotan dan hiasan rumah. Cantik dan nyaman dipandang mata. Senyum Tedi menyapa kami, menyeruak menyambut ramah teman-teman lama. Ramai seisi rumah suara-suara gaduh riuh penuh canda. Menyenangkan mengingat moment yang lucu dan haru. Tapi, dalam diri ini sedikit mengusik, mengapa hati ini begitu melankolis. Tak berpikir logis atau realita. Masih beranjak dibenakku tentang Tyas, aku tahu, mungkin Tedi tahu dimana dia. Tedi adalah mungkin orang terdekatnya, Tyas adalah kisah klasik Tedi. Mungkin menurutku Tedi adalah cinta pertamanya. Disela-sela sepi aku berusaha menanyakan kepada Tedi tentang Tyas. Tapi jawaban Tedi buram, dan tak pasti. Dia tak bisa berjanji menemukan Tyas dan membawanya kembali kemari.
Kami pamit, tujuan selanjutnya adalah rumah Sandra, gadis berambut keriting tipis. Teman yang berkarakter unik dan lucu. Lama menyusuri Jalan Menara 8, mengitari dan mencoba mengingat dimana letaknya. Semua teman mempercayakan posisi rumahnya padaku. Tapi jujur aku tak begitu ingat, disini banyak yang berubah, rumah-rumah semakin padat, menghambur menghiasi tepian jalan.
“Dimana rumahnya?’ tanya Angga yang tampak lelah. Ia menghela nafas panjang dan menghampiriku dengan motornya.
“Aku tak begitu ingat, sudah lama aku tak kemari,” jawabku jujur dan terus berusaha mengingat.
“Telpon aja Ran,” ucap Clara memberi usul.
“Aku lupa, menyimppan nomor handphonenya,” jawabku jujur sambil melepaskan helm di kepalaku.
“Bodoh,” tambah Sita.
“Maaf, kemarin saat aku menelponnya untuk minta nomor handphone Tyas, tanpa sengaja aku lupa. Kemarin aku lagi sibuk saat menelpon”.
“Yah, kalau itu mah pasti gara-gara Tyas, jadi lupa semua”, celetuk Clara.
“Sungguh, aku tak bermaksud begitu” ucapku menjelaskan.
“Sudah hubungi saja, Tyas. Gampang kan? Tanya di mana Sandra” usul Rian yang sudah berdiri disamping motornya.
“Nomor Tyas nggak aktif,” jawabku lesu.
“Ya sudah, kalau begitu. Kita pergi, tutur Angga dan kembali menghidupkan motornya.
***
Esok harinya aku kerumah Tedi, mencari Tyas lagi dan lagi. Aku tak ikut rombongan Crew Celebek hari ini. Mereka mengagendakan banyak rumah yang hendak dikunjungi, mencari dana untuk Reuni. Mungkin sama tujuanku dengan mereka, mencari teman SD, tapi Tyas agak berbeda.
Aku bersama Tedi kembali mencari rumah Sandra. Kali ini mudah ditemukan, aku baru tahu ternyata. Tedi teman satu kampus dengan Sandra. Aku sadar egois diriku, membuat aku tak menemukan tujuanku. Sandra kali ini tak ada dirumah, ia masih dikampus. Sedikit putus asa, tapi tak membuatku berhenti. Kami kembali pulang dengan tangan hampa. Lirih dan sembilu kurasa tak ada hasil. Perjalanan menuju rumah Tedi, terasa begitu jauh dan melelahkan.
Rumah Tedi, tak kuasa ku melihat ada teman-teman yang tak ingin kutemui. Crew Celebek. Angga, Clara, Sita dan Rian mereka di rumah Maya. Aku malu, sembunyi tertutup di balik udara yang tak mengaburkan. Aku terpaksa mencari alasan supaya tidak ikut crew hari ini.
Melihatku, Angga berang. Ia menuntutku, menganggap aku berbohong. Mengatakan aku pergi dan ada urusan keluarga. Padahal aku pergi mencari Tyas, mencari sesuatu yang tak pasti. Sama halnya Clara, ia berontak dan sepuasnya menghardikku. Mengapa aku berbohong, padahal aku tak ingin menggangu mereka dengan semua ceritaku tentang Tyas. Mungkin juga kadang aku sedikit merasa malu.
Suasana gaduh, Maya mencoba melerai pertengkaran mulut kami. Tedi juga menepis jarak antara aku dan Angga. Ia sadar sifat egois kami tak pernah berubah. Rian pun sama, menepih dan menenangkan. Tapi Clara tetap marah, tak bisakah aku menyampingkan Tyas dan mencari dunia baru yang kukerjakan ini. Yang mungkin lebih menyenangkan dan membawa cahaya-cahaya positif dihidupku. Begitu emosi karena merasa dibohongi, hingga tak sadar bahwa ini bulan puasa. Astagfirullah,
“Semua kendali ada padamu Randi, kau yang menyimpan nomor handphone anak-anak. Sebenarnya apa yang kau lakukan, nomor handphone tidak aktif, kemudian pergi?’ Pasti ini semua gara-gara Tyas. Bisakah 1 menit saja, focus untuk acara kita?’ tutur Clara perlahan, yang kali ini bisa meredam emosi.
Aku pergi melangkah menjauh, menuju tepian jalan. Suasana jalan tak begitu ramai, hanya ada beberapa orang yang lewat. Tapi kini aku melangkah menghindari mereka. Tapi semua tak hanya diam, Clara memanggilku, teman yang lain menyusul.
***
Sehari berlalu, tengat waktu pelaksanaan Reuni membahana. Dana dan teman-teman sudah sebagian dikumpulkan, tapi Crew Celebek terpisah. Masih marah, benci dan berang. Tak menyatu, mencari jalan sendiri. Sita sedih, ia menangis. Clara menjadi dingin, dan Angga hanya sesekali berbicara. Tak ada senyum, seperti sebelumnya. Untuk kali ini aku merasa benar-benar kehilangan senyum itu, rasanya sakit jauh lebih sakit dari hal yang kubayangkan.
Beriring waktu bergerak, H-1 berlalu dengan sedikit persiapan yang matang. Suasana yang dulu panas sedikit mendingin. Tapi belum nyaman seperti sebelumnya untukku, hingga hari pelaksanaan hadir, aku masih terdiam. Crew Celebek yang lain tertawa, ceria bersenda gurau dengan teman lama. Mengukir kisah baru yang lebih berkesan dan bermakna.
Suasana ramai, kami kumpul di depan SD tercinta. Dengan agenda acara yang tertata. Setelah mengunjungi panti asuhan, kami menuju makam almarhum sahabat kami tercinta. Bento, sapaan yang selalu kami ingat. Ia meninggal saat dibangku SMA, karena kecelakaan. Sedih membutakanku dan menyakitkan ku kala itu, karena dia sahabat terbaikku.
Berjalan demi waktu, kami menuju rumah yang menjadi tempat untuk buka bersama. Terhibur hati ini, setelah melakukan hal-hal terbaik. Saat dipanti asuhan, kurasakan iba, saat melihat tampilan sorot mata yang lugu, polos dan lucu. Tak bertepi, sedikit hati ini harusnya bersyukur apa yang kumiliki saat ini mungkin tak dimiliki anak-anak dipanti asuhan. Sadarkah aku akan hal itu, terlalu banyak aku menuntut kepada-Nya. Ini dan itu, banyak hal yang kuinginkan tanpa ada satu hal yang ku syukuri. Sahabat terbaik seperti mereka, aku sia-siakan, hanya karena marah dan emosi. Bahkan apakah mungkin aku melupakannnya, rasa sedikit adil mungkin yang ku peroleh jika aku merasa sedih dan bimbang saat ini. Tak ada satupun yang menemani, sama halnya seharusnya aku bersyukur kepada-Nya. Ku tahu aku tak dekat, mungkin menjauh dan seiring melupakannya. Tuhan Sang Maha Pemberi Segala. Yang ku ingat hanya Tyas dan Tyas. Ingin ku merenovasi diri tapi, sulitnya hati dan aplikasi membuatku terbuai, hanyut dan melupakan tanggung jawabku.
***
Pukul 5 sore, kami beramah tamah di beranda rumah. Suasana kembali ceria, dan kini telah kuperbaiki semua. Aku kembali ceria, tertawa bersama Crew Celebek, tak ada kaku dan sedih dengan sesama. Aku minta maaf dengan Clara dan Angga, tak seharusnya aku egois, sehingga aku melupakan mereka. Merupakan tanggung jawabku, sebagai panitia penyelenggara Reuni Akbar ini.
Saat yang sangat mengibur, sesi sharing dan games bersama. Semua bercerita masa-masa dulu. Sepatah dua kata, moment yang tak terlupa. Ari cowok berambut panjang menyisir poni di kening. Begitu santai dan ramah saat bertutur. Ia menceritakan kisah cinta pertamanya, yang tidak kesampaian. Ada juga Sandra yang bercerita ia menemukan cinta pertama duduk di Sekolah Dasar, dan kami semua tahu siapa dia. Seperti juga Angga dan Maya yang dulu SD pernah berstatus berpacaran. Senang melihat senyum-senyum itu kembali.
Clara mengambil perhatian kami, ia berbicara menjelaskan sebuah permainan unik. Kata berantai, menghubungkan satu kata yang saling berkaitan dengan cara estafet. Aku sedikit paham, dan mengerti penjelasannya. Permainan yang cukup unik. Tapi satu hal yang paling unik, hadiah untuk orang yang paling cepat dan banyak merangkai kata. Adalah satu suapan nasi kepel cinta dari seseorang yang disukai. Menarik bukan? Semilir ada angin hembusan mendamaikan hati ini. Sedikit terhibur dan penasaran, siapakah yang mendapatkannya. Aku sedikit berkhayal, lumanyan jika mendapatkan itu dari Mia. Dia cantik dan baik. He..he..he… tuturku dalam hati.
Dugaanku benar, permainan yang unik. Bisa memperat dan mengakrabkan kami kembali. Kemudian benar saja dugaanku. Mia yang jadi incaran, semua ingin mendapatkan hadiah nasi kepel cinta darinya. Tapi, aku bingung kenapa Clara tidak tertarik! Dia tidak serius bermain hanya menjawab seperlunya. Apakah dia cuma menginginkan itu dari Doni. Huh!. Entahlah, ini sebuah teka-teki perasaan.
Kurasakan tak nyaman, ada hal lain yang berubah. Beberapa menit kami bermain. Ada seseorang yang ingin kutemui hadir. Ya benar ada Tyas, tapi sedikit terluka, ia datang bersama Tedi. Gunda dihatiku kembali mengusik, merenda harapan yang tak pasti itu lagi. Sesungguhnya mungkin aku ingin seperti Clara, ia menyukai Doni yang jauh disana. Tapi ia berusaha tak mau berharap dan menutupi semua itu dengan senyuman. Ia bercanda bersama teman-teman bersuka cita, melupakan sedikit keinginannya. Menatap dan menata masa depannya dengan baik, tak mau hidup dimasa lalu. Jujur aku tak yakin aku bisa seperti itu, kadanng aku berpikir apakah aku laki-laki yang bodoh dan terlalu lemah.
Permainan usai, dan aku yang menjadi pemenang.
“Huh……. Nasi kepel cinta dari Tyas.”
“Mengasyikan!!
Lama aku menunggu waktu berbuka. Mungkin inilah buka yang paling membahagiakan bagiku. Senyum-senyum merantai hati aku sendiri. Clara hadir kembali ia membawa piring yang tertutup rapi. Pasti itulah nasi kepel cinta. Nasi yang dikepel, yang dibentuk hati dan diberi hiasan hati. Mungkin ada ayam, telur atau daging. Huh….. Sedap, tuturku, apalagi ada Tyas” tuturku sambil senyum-senyum sendiri.
Aku tak sabar, semua berkeliling memperhatikan. Sepertinya semua orang juga tak sabar sepertiku. Wajah celingak-celinguk ingin tahu. Clara ditengah sambil tersenyum puas. Entah apa yang sebenarnya ia pikirkan?
Beduk berkumandang, waktu berbuka. Setelah semua menghirup es buah, mereka kembali lagi berkumpul.
Mataku ditutup, katanya ini sebuah kejutan.
Wah…….. benar-benar menakjubkan. Aku hanya menurut dan sebelumnya ku dengar nama Tyas di sebut. Oh…. Maafkan aku Tedi tuturku dalam hati.
Kurasakan 1 suapan nasi putih, tak berasa manis, pedas atau pun aroma bawang. Hanya terasa nasi putih, dan aroma kecerian dari teman-teman. Semua tertawa cerah, ramai dan gaduh. Besorak-sorak, mungkin mereka iri menurutku. Simpul kecil dari bibir ini saat ku habiskan 1 suapan nasi putih ini. Berharap setelah membuka mata ada senyuman manis Tyas disana.
“HA” aku terkejut, saat ku buka mata hanya ada Rian yang tertawa puas. Membawa sepiring nasi putih saja, yang dikepal-kepal dengan tangan.
“ HUEEEk…..! Ingin muntah, melihat kondisi ini. Diluar dugaan, mengecewakan, dimana Tyas?’ aku mencari-cari dan kulihat Tyas. Ia tertawa, ia berada tak jauh dariku.
Aku kecewa dan ingin marah, tapi melihat tingkahku semua makin tertawa. Hanya aku yang masem-masem sendiri. Mengoceh sendiri, dan begitu sangat marah kepada Clara. Dia mempermainkanku.
Sambil sedikit tertawa Clara menjelaskan, permainan ini dibuat dengan tidak sengaja. Tanpa persiapan, hanya mengisi waktu luang. Dan soal hadiahnya, nggak bisa Tyas yang memberikan nasi kepel cinta, kan ini bulan Ramadhan “pamali” yang begituan. Jadi kita putuskan diganti dengan Rian. Itu kan nasi kepel cinta dari kami semua Randi, ucap Clara tersenyum manis.
Sejauh mana menikmati kebahagian dan kebersamaan kami. Membuat aku sangat terhibur, apalagi dengan keberadaan Tyas. Waktu berlalu dengan canda dan rasa yang begitu berkesan dihati.
Tapi buatku dengan Tyas belum selesai, aku ingin bicara banyak. Menanyakan kabarnya dan mendengar suaranya lagi. Saat aku bisa memperjelas dan akan kutanyakan semuanya.
Santai dan sederhana aku bertanya, tapi Tyas tak merespon baik, ia sekarang tinggal di Yogyakarta. Ia pulang hanya sebentar untuk mengunjungi sepupunya. Kemudian di hari raya dia akan kembali lagi.
Aku begitu kecewa, Tyas mengucap kata terakhirnya, yang membuatku sedih. Walaupun saat ini ada rasa untukmu, tapi semua tak ada tujuan dan kejelasan. Tyas memiliki kehidupan lain di Yogya, tanggung jawab dan keluarganya dan satu hal yang paling ia inginkan dia tak ingin menyakitiku. Sungguh dan kini aku mengerti, aku harus melepasnya pergi.
***
Semua kembali sepi, hanya ada Crew Celebek disini. Dirumah Clara. Rian, Angga dan Sita. Kami berkumpul membicarakan misi selanjutnya Crew Celebek. Halal bil halal, silaturahmi bersama di hari raya.
Aku duduk di teras rumah, teman lain bercanda sambil OnLine di ruang tengah. Aku sepi, memikirkan ucapan Tyas kala itu. Merenung dan mungkin menyesali diri. Tak berapa lama, Clara kembali hadir, ia tersenyum sambil memperlihatkan sms dari Doni, isinya cerita mengenai acara buka bersama dan sedikit salam untuk teman semua.
“Dia takkan kembali sebelum kuliahnya usai. Aku juga tak tahu apakah aku masih ingin menunggunya. Tapi, yang ku tahu saat ini hidupku bahagia, karena ada teman-teman semua yang ku sukai. Ada kalian semua disisiku, mungkin ini sudah cukup. Lalu yang ku tahu, antara aku dan dia, memang hanya sebuah cerita. Tak ada apapun yang berarti, hal yang sama dan tak ada perubahan.
Clara tesenyum simpul, menyadarkan aku betapa tulus dan sederhana senyum itu tercipta. Hanya karena kebersamaan kami semua, memiliki sahabat-sahabat terbaik telah membuatnya bersyukur dan bahagia.
Cinta yang hilang datang dan pergi, tapi seharusnya aku bersyukur dengan apa yang ku miliki saat ini. Persahabatan dan keluarga yang mungkin tak dimiliki orang-orang yang selalu memburu cinta. Terima kasih ya Allah, atas kiriman paket kebahagian yang selalu Engkau berikan, tuturku sambil kembali masuk ke ruang tengah. Aku datang kembali menemukan kebahagianku! Sama seperti nasi kepel cinta waktu itu, tak butuh banyak hal berlebih yang tak bermanfaat. Nasi putih dengan cinta dan ketulusan jauh lebih bermakna.

***
Selesai.



1 komentar:

neng 'gelis Fransori mengatakan...

Kisah ini untUk CrEW CElEBEk 143
I Miss U aLL

by rangER PiNK