Nuansa Senja di Benteng Kuto Besak

Selasa, 26 Januari 2010


Biasa memang jika hanya melewati kota Palembang dan hanya sepintas memperhatikan Jembatan Ampera dan Benteng Kuto Besak ( BKB). Tapi, jika aku perhatikan secara seksama dan telah ku jalani perjalanan itu aku bangga apa yang ada pada kotaku tercinta itu.
Di sore itu setelah aku disita waktu atas kesibukannku, ku sempatkan diri tuk menghampiri nuansa indah itu. Aku duduk di pinggir tepian sungai Musi. Ku perhatikan sepintas lalu, ku rasakan ada angin sepoi yang menghelai rambutku. Suara ombak yang kecil dan sayup-sayup terdengar. Hiruk-pikuk kegiatan di tepian sungai Musi memang terasa membisingkan. Disana-sini ramai orang berceloteh riang, ada juga para pedagang, dan turis local yang memperhatikan alam sekitar.
Dulu ku pikir tempat ini biasa, tapi saat aku disini benar-benar berbeda. Ku perhatikan budaya sekitar. Ada sekumpulan ada kecil yang bermain di tepi sungai. Mereka tawa lepas berlari riang kemari. Apalagi disudut sana sungai dangkal. Terlihat pula tepian yang jarang ku lihat. Ada lagi yang menarik perhatian para nelayan yang mengitari sungai mencari ikan. Kapal-kapal barang yang melintas dan perahu ketek berjalan kesana kemari di pinggiran sungai. Ku tahu perahu itu ada yang terkadang berdagang, mereka menjual makanan yaitu makanan khas dari Palembang pempek dan model. Mereka menjajakan pada nelayan atau pun turis yang sedang menikmati menaiki perahu ketek.
Angin semakin berhembus, lalu ku perhatikan jembatan megah yang menjadi ciri khas kota ku itu. Ku pikir awalnya biasa, karena hampir tiap hari kulalui jembatan itu. Tapi unik menurutku, saat melihat bentuk dan megahnya jembatan itu kala ku perhatikan dari sisi sungai. Mobil-mobil ramai yang melintas di atas jembatan, seperti berbaris rapi. Mereka berjalan dan melangkah berlawanan arah namun serentak. Bak parade barisan polisi.
Ku perhatikan lagi, di sudut sana. Kuperhatikan matahari senja yang menyengat mata. Kuning berkilauan seperti emas. Menderu menyilaukan mata, tapi menggugah perasaan. Tak ku sangka indah nian matahari di kala senja ini. Apa lagi suasana masih sejuk, karena baru saja hujan membahasi. Anggun dan menawan menurutku matahari itu, membawa perasaan tenang dan bahagia. Tak ku sangka sebelumnya begitu nyaman disini.
Ku alihkan lagi pandanganku. Kali ini ke arah bangunan megah dan indah. Berukiran dan bermotif khas Palembang. Dari gerutan jendela dan pintu-pintu, serta atap yang berwarna coklat mendayu. Benar-benar paduan etnik yang berkarakter. Ku tahu bangunan itu adalah museum. Asri damai dan tenang dengan hiasan pohon dan bunga. Membawa kesejukan dan kedamaian. Oh… Kotaku, tampak indah nian dirimu di senja ini. Tak ayal sebelumnya ku pikir kau hanya biasa saja. Tapi tersimpan berjuta keindahan dan karakter yang melambangkan budaya dan ciri khas kota ku yangwajib ku agungkan.
Perhatianku hilang lagi, saat ada beberapa pengamen yang mendekat. Mereka menyanyikan sebuah lagu. Ku dengar dengan seksama, dan ku tahu mereka bukan anak-anak jalanan. Dari pakaian mereka yang tampil indah, dan menurutku mereka sekumpulan pemuda yang juga ingin eksis dan menunjukan taringnya dengan menyanyi.
Lagu pertama usai, dan mereka bernyanyi lagi. Tapi kali ini berbeda melihat selebaran yang ku pegang. Kala itu aku memegang selebaran dari Ungu. Mereka berinisiatif menyanyikan lagu CiDaHanya Ungu. Senang aku di kala itu, ternyata mereka mempersembahkan lagu yang ku suka. Saking senangnya, aku meminta mereka memegangs selebaran itu dan ku minta untuk di foto. Dengan senang hati mereka tersenyum. Senang dan mengagumkan menurutku, tak ada yang lebih terbaik ku lakukan untukku selain membanggakan kota indah tempat kelahiranku.

0 komentar: