CERPEN Jeruji Besi dan Burung Gereja

Selasa, 26 Januari 2010


doc foto: felino-feno.blogspot.com

“ Aku duduk tersudut!”
Mengosongkan pikiran dan bingung mencari jalan keluar. Aku duduk dipojok sudung sawah yang kering namun hijau. Mataku tertuju pada awan dan langit biru, melamum sedikit memikirkan nasip dan masa depan. Tertegun merapatkan kaki dan menopang dagu dengan betisku yang hitam.
Warni namaku, tapi kurasa hidupku ini tak seindah namaku. Ku harap seharusnya hidupku lebih berwarna-warni. Aku hanya seorang gadis desa yang tinggal didaerah kampung yang terkenal dengan hijaunya alam.
Ku alihkan pandanganku pada seekor burung gereja kecil, ia bertengger di pohon kecil dekat perbatasan petak-petak sawah. Andai aku bisa sebebas burung itu, bisa melakukan apapun yang aku inginkan, sehingga besok aku bisa pergi ke kota dan meraih mimpiku. Ku kaburkan impian itu dalam renung hatiku, karena keterbatasanku. Asa itu lenyap, saat ku tahu aku tak dapat restu Bapak, hingga kini aku terkurung dibalik jeruji besi rumahku dan kampungku. Tapi aku sadar apalagi keterbatasan lingkup ekonomi keluargaku. Bapak hanya seorang petani yang sederhana dan ibu hanya seorang ibu rumah tangga yang sesekali berdagang, ibuku hanya seorang penjual gorengan di pasar.
“Nik’ panggil seorang wanita dari kejauhan. Wanita setengah baya dengan kulit keriput dan kering termakan matahari. Itu adalah emak, seorang ibu yang selalu menyayangiku.
“Ayo kita pulang nak!
‘Iya mak, ucapku sambil bergegas menghampirinya.”
“Ada apa denganmu Nik? Kenapa kamu melamun.
“Tidak apa Mak!” ucapku berbohong.
“Ini, ucap emak sambil mengeluarkan dompet lusuh dari saku dibajunya.
“Untuk apa ini Bu!
Ibu tak berkata apapun, ia hanya tersenyum dan menunjukan seekor burung yang terbang diangkasa.
Raih dan kejarlah mimpimu nak!
Aku tersenyum dan mengetahui benar apa yang ibu maksudkan.
* * *
Shubuh hendak menjelang, aku telah terjaga dan duduk di kamarku yang kusam dan pengat. Ku perhatikan tas yang ada disebelahku, tas telah kujejali beberapa pakaian dan buku. Aku pun telah mandi dan berwudhu, telah ku kenakan pakaian terbaiku untuk berpergian menggejar mimpi. Sebenarnya mimpiku sederhana, aku ingin bisa kuliah di kota dan menjadi orang sukses. Seperti Rien temanku anak Juragan Mahdi. Dulu waktu di SMA dia adalah kakak kelasku. Walaupun kadang ia keras kepala dan susah di atur tapi ia gadis yang cerdas, dan sekarang ia kuliah di kota dengan uang kuliahnya juga dibiayai oleh pemerintah. Oleh karena itu, aku ingin seperti dia, dan sungguh aku pun ingin bertemu dengannya di kota. Tapi, mimpiku itu terhalang oleh Bapak. Beliau khawatir jika aku tinggal sendiri di kota. Jadi hingga kini aku tak mendapat restu. Hal ini juga dikarenakan ketakutan Bapak, Bapak cemas jika hal itu terjadi lagi. Dulu kakakku Dayat pergi merantau ke kota dan hingga kini kami tak tahu di mana rimbanya. Dengan alasan itulah ayah melarangku untuk pergi dan mengurungku di jeruji besi kampung desa ini.
Tak lama kemudian terdengar suara Adzan, dan aku telah siaga. Aku sholat dan memohon untuk kemudahan jalanku meraih impian. Melepaskan diri dari jeruji besi dan semua keterbatasanku. Aku hendak ke kota dan mengikuti tes untuk mendapatkan beasiswa untuk bisa kuliah di sebuah universitas. Sebenarnya tujuanku adalah menjadi seorang guru. Aku pun memutuskan untuk ikut tes tersebut dan menjadi mahasiswa. Aku berencana kuliah untuk menjadi seorang guru SD dan di kota aku hendak tinggal di asrama mahasiswa. Relung rencana ini telah menjadi impianku selama ini, dan sekarang aku memulai perjalananku. Aku keluar rumah dan menuju balai desa tempat dimana aku janjian dengan Bang Juki.
Lama aku melangkah dan ku temukan Bang Juki dengan Pak Sardi. Mereka tersenyum kepadaku dan langsung memberikan aba-aba kepadaku untuk menuju ke angkot kecil yang terpakir di jalan. Kedua laki-laki ini bergegas dan melangkah mengikutiku. Bang Juki adalah saudara jauh ayahku,beliau bekerja sebagai tukang di sebuah Pabrik dikota Pak Sardi adalah seorang sopir angkot yang bertugas membawa barang-barang kiriman dari kota. Ia pulang ke desa karena ingin mengunjungi orang tuanya yang sudah lama tak ia temui. Singkat cerita, kedua laki-laki ini mau mengajakku serta diperjalanan singkat ini atas permintaan Emak.
* * *
Aku tiba di kota, dan aku tinggal bersama keluarga Bang Juki yang sederhana. Bang Juki bekerja di sebuah Pabrik dan istrinya seorang pedagang pakaian di pasar. Bang Juki dan istrinya serta anaknya Indah yang masih kecil menurutku sangat ramah dan menyenangkan. Sebuah keluarga yang hangat dan damai menurutku. Walaupun mereka hidup dengan sederhana di kota.
Senang sekali hatiku dan kini aku benar-benar menjadi burung gereja yang meraih mimpi. Melebarkan sayap dan terbang bebas menghirup udara. Mencari jati diri dan menggapai mimpi. Mengukir semuanya dari bawah dari nol dan semua pengorbanan hidupku. Tak rela harus meninggalkan ayah yang sakit-sakitan dan kondisi Emak yang juga kadang kelelahan jika terlalu banyak bekerja. Menurutku inilah hidup penuh cobaan, pengorbanan dan perjuangan. And I hope this wishes the best of me. I believe it!.
Hari ini aku diantar Bang Juki ke kampus untuk mengikuti tes, kami pergi dengan angkot dan dengan perasaan gugup aku menuju ke tempat itu. Aku senang dan sungguh aku sangat berterima kasih pada Bang Juki dan Rien, karena atas bantuan mereka aku dapat mengikuti tes ini. Rien dan Bang Juki kesana kemari mengurus administrasinya. Jujur dengan kerja kerasnya aku dapat memperoleh izin Emak untuk pergi ke kota. Ya, walauupun tanpa sepengetahuan Bapak. Sedih memang, tapi jerih payahku tak sia-sia. Aku ingat betul, dulu Emak berjanji jika aku mampu lulus SMA dengan nilai yang bagus, maka Emak akan membantuku kuliah. Hasilnya aku lulus SMA dengan mendapat nilai terbaik dan tertinggi, dan ku rasakan senang sekali kala itu. Memang pada awalnya Emak ragu tapi karena Emak jenuh dengan tingkahku yang selalu membujuk dan mencari perhatiaanya hingga ia bosan dan memberi aku restu. Seingatku dulu aku selalu rajin membantunya, baik hanya sekedar pekerjaan rumah tapi juga membantu ia berjualan dipasar saat waktu senggangku. Mungkin karena kerasnya sifatku dan gigihnya semangatku hingga Emak sekarang benar-benar mendukungku.
Aku ingat betul kala itu, aku rela tidak ikut acara perayaan dikampungku karena aku menggantikan Emak berjualan di pasar. Padahal dulu aku tak pernah absen pada acara yang di selenggarakan 2 tahun sekali itu. Sebenarnya itu memang kewajibanku membantu Emak, tapi Emak tahu aku sangat ingin pergi ke acara itu. Satu lagi, aku memaksakan diri untuk tetap pergi ke sekolah padahal aku sakit. Gawatnya lagi, sore harinya aku membantu Emak dan Bapak di sawah hingga sakitku bertambah parah kala itu. Lain lagi saat itu aku rela menyisihkan uang jajanku untuk membeli buku, Emak marah sekali padaku karena aku menderita sakit gara-gara sering tidak makan siang, uang jajan yang diberikan Emak aku sisihkan. Padahal Emak juga rajin memberikan aku buku jika ia mempunyai uang lebih. Ingin sebenarnya ku ucapkan terima kasih ini pada Emak. Ia adalah wanita yang berperan dengan dalam prestasiku dan pendidikanku.
* * *
Setelah beberapa hari aku bergulat dengan buku, soal-soal dan jawaban yang membingungkan. Hari ini aku pulang ke desa, aku hendak menunggu kabar di rumahku saja dan mengucapkan terima kasih pada Emak. Terkadang aku berpikir tak apa jika aku tak lulus, setidaknya aku telah berusaha dan nantinya aku bisa bersama Emak selamanya di desa. Pagi ini aku pulang dengan Pak Sardi, aku menumpang mobilnya lagi. Senang betul perasaanku, setelah berhari-hari mengenali kota yang sangat berbeda jauh dengan desaku.
Lama dan akhirnya aku tiba di rumah. Aku melangkah masuk dan kutemukan Bapak. Ia berbaring di tempat tidur dan lemah. Wajah tuanya tampak tak berdaya, matanya yang sendu menatapku. Aku menangis melihat kondisi Bapak, ia tampak tak berdaya atas sakit yang di deritanya. Aku meraih dan memeluknya, ku lihat air mata disana. Saat ini hatiku pilu dan tak ku temukan lagi mimpi yang dulu ku rajut itu. Ingin rasanya ku buang jauh mimpi itu. Sekarang aku berpikir apa pun yang terjadi nanti aku akan tetap menjadi burung gereja yang terkurung di jeruji besi hingga diriku tua. Tetap mencari dirumpun dan disawah tanpa pernah lagi tuk memikirkan menjadi wanita dewasa yang cerdas dan sukses.
Tak ada daya lagi, berhari-hari ku habiskan waktu bersama Bapak. Aku merawatnya dengan baik, dengan setulus kasih sayang dan rasa bersalahku. Pergi tanpa seizin beliau adalah salah satu penyesalanku. Ku rasa kali ini tak ada lagi senyuman, hanya ada hati yang sakit dan hancur retak seribu oleh keinginannku dan asaku.
Beberapa waktu telah berlalu, dan jujur hari yang sebenarnya ku nantikan adalah hari ini. Menunggu janji Bang Juki, yang sebenarnya sangat kuharapkan dengan setengah hati. Dengan rasa bimbang dan takut atas apa yang akan terjadi berikutnya.
Sore itu Bang Juki datang. Ia membawa sepucuk surat mimpiku. Koran yang usang dan kotor, aku tahu itu adalah koran hasil pengumuman tes yang telah aku ikuti. Ku ingat terakhir Bang Juki mengatakan, ia akan ke desa dan membawa kabar baik untukku. Tapi, sekarang untukku tak ada yang lebih penting lagi, karena hari-hariku hanya untuk Bapak. Aku tak kan pergi lagi, walaupun sekarang kondisi Bapak telah membaik. Sedetik pun aku tak ingin meninggalkannya.
Bang Juki duduk di samping Bapak. Ia sedikit lelah dan aku bisa lihat ia juga tampak tua. Tapi, senyum terukir dibibirnya dan aku tahu beliau membawa kabar baik itu. Lama aku menunggu dan ku dengar ucapan itu. Aku lulus dan diterima sebagai mahasiswa.
Bapak, hanya diam dan Emak menangis, sedangkan aku tanpa ekspresi. Aku melamum dan berpikir, tapi telah ku putuskan tak kan meninggalkan Bapak dan Emak. Suasana kembali hening, hanya terdengar desak tangis ibu.
“Nik, pergilah dan raih mimpimu! Jangan pulang sebelum jadi sarjana nak” ucap Bapak pelan tanpa mampu ku dengarkan.
Aku menangis, sekeras-kerasnya dalam hati. Menderu dan berbaur banyak hal dihati ini seperti berkecamuk dan memilukan. Oh….. apakah yang harus aku lakukan, ucapku dalam hati sambil menundukkan kepala. Tanpa sadar aku hanya menitikan air mata. Tak ku kira Bapak berkata seperti itu, begitu kerasnya Bapak dulu tidak mengizinkan aku. Tapi kini, dengan sedikit pelan ku dengar restu yang dari dulu kuharapkan. Sebuah tiket untukku mengejar mimpiku telah kudapatkan.
* * *
Pagi kini, aku kembali berdiri di sawah, sambil memperhatikan ibu yang sibuk dengan lumpur. Melihat matahari pagi yang cerah dan berani. Menyongsong udara dan angin yang semilir.
Kerjaku tak bagus pagi ini, mungkin tak ada gunanya aku membantu Emak. Jujur pikiranku berkutat pada burung gereja yang berterbangan di langit dan di tepi pepohonan serbang. Dalam hati kecilku aku tetap bermimpi dan bermimpi. Pada impianku menjadi seekor burung gereja yang bebas dan melayang. Tapi, ada titik hitam yang menghalangi. Rasa yang membebaniku dan memberatkanku. Bingung, seperti berada di sudut jalan yang ku tahu jalan tujuannya tapi aku tak punya kendaraan untuk melaluinya.
Siang nanti Bang Juki kembali ke kota, haruskah ku biarkan hal itu terjadi. Tanpa diriku ikut bersamanya? Tak kusadari Emak berdiri di sebelahku, ia menyadari ternyata bahwa kerjaku tak bagus pagi ini.
‘Kau lihat itu nik?’ tanya Emak sambil melihat sekumpulan burung gereja yang terbang dan hinggap kian kemari di pohon.
“Aku lihat Mak!’
“Dirimu sama seperti itu, ada kalanya burung hinggap dan terbang kian kemari. Suatu saat mereka akan pergi ke tempat yang lebih nyaman dan meninggalkan rumah mereka yang sekarang mereka tempati’. Mungkin suatu saat pohon itu akan kering dan sumber makanan disekitar sini akan berkurang maka mereka harus pergi untuk tetap bertahan hidup. Mencari tempat yang lebih nyaman dan hijau.
“Tapi, Mak. Aku ingin tetap disini’, ucapku sambil menghela napas, sedangkan Emak hanya tersenyum dan menggangukkan kepala sambil menangis pelan terharu.
“Emak tahu, tapi apakah kau tidak ingin mewujudkan cita-cita Bapak?’ Bapak ingin kau kembali dan menjadi sarjana”.
Ku anggukkan kepala dan ku yakinkan diri kali ini, aku menangis dan tersenyum dalam pelukan Emak.
* * *
Kali ini dengan restu Bapak, aku melangkah meraih mimpi. Aku berkemas dan pamitan pada mereka. Bapak dan Emak yang ku cintai. Siang ini aku berangkat bersama Bang Juki, dengan membawa kunci untuk menuju pintu gerbang cita-citaku.
“Pergilah Nik, nanti pulang bawakan sinyal untuk Bapak!”
“Apa Pak, sinyal’ ucapku bingung.
“Itu lho…. alat yang sering di pakai Si Deno, anaknya Pak Haji Darman, yang bentuknya kotak. Dia sering bilang ke Bapak, coba kalau ada sinyal. Pasti benda itu bisa di pakai.
“Oh… olah….. itu mah HP Pak, ucap Bang Juki.
“Aku tertawa” mendengar itu. Tak ku sangka desa memang jauh berbeda dengan kota.
Sekarang dan kini aku pergi serta nanti aku akan bawakan sinyal untukmu Bapak!
Mungkin kisahku tak begitu syarat makna, tapi aku sadar akan gigihnya sebuah perjuangan dan pengorbanan. Kala tangan ini tak mampu meraih apa yang kau sayangi tapi ada mata ini yang akan membicarakan bahwa begitu indahnya cinta dan kasih sayang.

Selesai

0 komentar: