PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA

Selasa, 26 Januari 2010

1. Bahasa Pertama dan Kedua

Setiap orang biasanya hanya mampu berbi-cara dengan menggunakan satu bahasa saja, ya-itu bahasa yang ia peroleh secara otomatis dan wajar karena biasa digunakan untuk berkomu-nikasi sehari-hari oleh orang-orang yang berada di lingkungan kelompok masyarakatnya. la tidak memahami bahasa-bahasa yang digunakan un-tuk berkomunikasi oleh orang-orang yang berada di luar lingkungan kelompok masyarakatnya. Bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi se-hari-hari oleh seseorang di dalam lingkungan ke-lompok masyarakatnya, yang ia peroleh secara alamiah dan wajar sejak lahir disebut bahasa ibu atau bahasa pertama orang tersebut, sedangkan bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi oleh orang-orang di luar lingkungan kelompok masya-rakatnya dinamakan bahasa asing yang apabila dipelajari oleh orang tersebut akan menjadi ba-hasa keduanya.
Istilah bahasa kedua atau second language di-gunakan untuk menggambarkan bahasa-babasa apa saja yang pemerolehannya/penguasaannya dimulai setelah masa anak-anak awal (early childhood), termasuk bahasa ketiga atau bahasa-ba-hasa lain yang dipelajari kemudian. Bahasa-ba-hasa yang dipelajari ini disebut juga dengan ba-hasa target (target language).

2. Pemerolehan Bahasa Kedua
Kondisi saling ketergantungan antara satu ne-gara dengan negara lainnya menjadikan pengua-saan bahasa kedua menjadi sesuatu yang sangat penting dewasa ini.
Kita perlu mempelajari bahasa kedua untuk ke-pentingan sektor pendidikan, pariwisata, politik dan ekonomi.
Pemerolehan bahasa kedua tidak sama de-ngan pemerolehan bahasa pertama. Pada pe-merolehan bahasa pertama siswa "berangkat dari nol" (dia belum menguasai bahasa apa pun) dan perkembangan pemerolehan bahasa ini seiring dengan perkembangan fisik dan psikhisnya. Pada pemerolehan bahasa kedua, siswa sudah me-nguasai bahasa pertama dengan baik dan per-kembangan pemerolehan bahasa kedua tidak se-iring dengan perkembangan fisik dan psikhisnya. Selain itu pemerolehan bahasa pertama dilaku-kan secara informal dengan motivasi yang sangat tinggi (siswa memerlukan bahasa pertama ini untuk dapat berkomunikasi dengan orang-orang yang ada di sekelilingnya), sedangkan pemeroleh-an bahasa kedua dilakukan secara formal dan motivasi siswa pada umumnya tidak terlalu tinggi karena bahasa kedua tersebut tidak dipakai untuk berkomunikasi sehari-hari di lingkungan ma-syarakat siswa tersebut.

3. Aspek-aspek Pembelajaran Bahasa Kedua.
Ada beberapa aspek yang harus diperhatikan ketika memutuskan untuk mempelajari bahasa kedua:
1. Kemampuan bahasa.
Biasanya apabila seseorang memutuskan un-tuk mempelajari bahasa kedua secara formal, ia akan melalui tes kemampuan bahasa atau language aptitude test yang dilakukan oleh lembaga kursus bahasa untuk menilai kecakapan/bakat bahasa yang dimiliki oleh orang tersebut. Tes ini terbukti cukup efektif untuk memprediksi siswa-siswa mana yang akan sukses di dalam pembe-lajaran bahasa kedua. Meskipun demikian masih terdapat perbedaan pendapat mengenai kemam-puan bahasa atau language aptitude itu sendiri. Apakah kemampuan bahasa itu merupakan suatu kesatuan konsep, suatu properti organik di dalam otak manusia atau suatu komplek faktor termasuk di dalamnya motivasi dan lingkungan. Penelitian mengenai kemampuan bahasa atau language aptitude sering dikritik karena tidak relevan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh para siswa di sekolah-sekolah bahasa yang harus berusaha sekuat tenaga untuk menguasai bahasa kedua terlepas dari apakah mereka memiliki bakat atau tidak untuk hal tersebut. Apalagi penelitian mene-mukan bahwa kemampuan bahasa atau language aptitude itu tidak dapat diubah.
2. Usia.
Sebagian besar masyarakat umum masih me-yakini bahwa untuk belajar bahasa kedua akan lebih baik dilakukan ketika masih anak-anak. Bela-jar bahasa kedua ketika telah dewasa akan terasa lebih sulit. Tetapi penelitian-penelitian yang telah dilakukan mengenai hal ini gagal untuk membuk-tikan kebenaran keyakinan masyarakat umum tersebut.

Mereka yang mulai belajar bahasa kedua ketika telah dewasa tetap dapat mencapai tingkat ke-berhasilan yang cukup tinggi. Penelitian-penelitian yang dilakukan mengenai hal ini hanya mampu menunjukkan bahwa sebagian besar orang yang belajar bahasa kedua ketika telah dewasa tidak mampu merubah aksen mereka seperti aksennya penutur asli, aksen orang dewasa adalah aksen bahasa pertama yang sulit untuk dirubah.
Hal menarik yang dapat diambil dan penelitian-penelitian tersebut adalah jika program pembe-lajaran bahasa kedua yang diberikan berupa immersion/pembelajaran bahasa kedua dengan ter-jun langsung di lingkungan penutur asli, orang de-wasa cenderung lebih cepat memperoleh bahasa kedua dibandingkan dengan anak-anak, hal ini di-karenakan otak orang dewasa berfungsi lebih sempuma dibandingkan dengan otak anak-anak dan orang dewasa memiliki lebih banyak pe-ngalaman berbahasa dibandingkan dengan anak-anak.

3. Strategi yang digunakan.
Penggunaan strategi yang efektif sangat pen-ting agar pembelajaran bahasa kedua dapat ber-hasil. Secara umum strategi pemerolehan bahasa kedua dibagi menjadi dua, yaitu strategi belajar dan strategi berkomunikasi.
Strategi belajar adalah strategi yang digunakan untuk meningkatkan hasil belajar bahasa kedua, seperti penggunaan kamus atau penggunaan TV kabel untuk menangkap siaran-siaran TV yang menggunakan bahasa kedua. Sedangkan strategi berkomunikasi adalah strategi yang digunakan oleh siswa kelas bahasa kedua dan penutur asli untuk dapat saling memahami ketika terjadi ke-buntuan di dalam berkomunikasi di antara mereka karena kurangnya akses terhadap bahasa yang benar, misalnya dengan menggunakan mimik dan gerakan tangan.

4. Motivasi.
Secara sederhana motivasi dapat diartikan sebagai mengapa seseorang memutuskan untuk melakukan sesuatu, berapa lama ia rela mela-kukan aktivitas tersebut dan sejauh mana usaha yang dilakukannya. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan mengenai motivasi menunjukkan bahwa motivasi terkait erat dengan tingkat keber-hasilan seseorang di dalam pembelajaran bahasa kedua. Pelajar yang memiliki motivasi yang kuat akan sukses dan kesuksesan yang diperolehnya itu akan semakin meningkatkan motivasinya. Moti-vasi bukanlah sesuatu yang bersifat tetap, tetapi sangat dipengaruhi oleh umpan balik dan ling-kungan. Salah satu faktor yang mempengaruhi motivasi adalah tehnik instruksi yang digunakan oleh guru.

4. Metode Pembelajaran Bahasa Kedua.
Ada banyak metode atau cara yang dapat digunakan untuk mempelajari bahasa kedua. Metode atau cara yang dipilih akan tergantung pada seberapa cepat dalam menguasai bahasa kedua itu, dimana kita tinggal dan berapa banyak dana yang dapat kita alokasikan untuk mencapai tujuan kita tersebut. Gabungan dari beberapa me-tode atau cara di bawah ini tentunya akan membe-rikan hasil belajar yang lebih optimal dibandingkan dengan hanya menggunakan salah satu metode saja.

1. Pembelajaran di dalam kelas.
Ketika kita melaksanakan pembelajaran ba-hasa kedua di dalam kelas, kita dibantu oleh guru yang senantiasa dapat memberikan materi, do-rongan dan umpan balik serta dapat menjadi la-wan untuk mempraktekkan kemampuan bahasa kedua kita. Agar dapat menyelenggarakan pem-belajaran bahasa kedua yang baik di dalam kelas, guru membutuhkan sumber-sumber pembela-jaran bahasa yang otentik. Ini terutama dibutuh-kan ketika kita mempelajari bahasa kedua di negara kita sendiri. Sumber-sumber pembela-jaran bahasa yang digunakan harus otentik dalam hal lafal, intonasi, aksen dan idiom. Tanpa adanya sumber-sumber pembelajaran bahasa seperti itu, akan sangat sulit bagi seorang guru bahasa ke-dua untuk dapat menyampaikan perasaan dan fikiran orang-orang yang menggunakan bahasa tersebut sebagai bahasa pertamanya. Untuk itu ketika mengajar, para guru bahasa kedua sebaik-nya hanya menggunakan rekaman suara yang di-tuturkan oleh penutur asli. Bahan-bahan penga-jaran visual seperti video atau film juga harus me-nampilkan kebudayaan orang kedua yang otentik. Jangan menggunakan video atau film yang hanya menampilkan keindahan negara penutur bahasa kedua, tetapi tidak ada kaitannya dengan masalah kebudayaan orang penutur bahasa kedua. Video atau film seperti itu biasanya ditujukan hanya kepada para turis saja.
Selain itu guru/pihak sekolah dituntut untuk mampu menyediakan koran dan majalah dalam bahasa kedua karena merupakan dua sumber ba-caan yang valid dan selalu memberikan informasi terkini mengenai kebudayaan orang kedua.

2. Pembelajaran otodidak.
Metode ini dapat dilakukan dengan cara mem-beli CD atau DVD pembelajaran bahasa kedua yang banyak di jual di toko-toko buku/kaset atau dapat dipesan on-line melalui Internet. Kelemahan mendasar dari metode belajar ini adalah tidak ada-nya guru yang mendampingi, sehingga ketika sis-wa perlu bertanya, tak ada seorang pun yang da-pat menjawab. Namun demikian CD atau DVD pembelajaran bahasa kedua sekarang ini telah dikembangkan sedemikian rupa sehingga siswa dapat belajar sendiri. Keberhasilan siswa di dalam pembelajaran bahasa kedua dengan mengguna-kan metode ini akan sangat tergantung pada ting-kat keseriusan siswa di dalam belajar dan kualitas CD atau DVD pembelajaran bahasa kedua yang siswa beli.

3. Pertukaran bahasa.
Belajar bahasa kedua dengan menggunakan metode ini menuntut siswa untuk mencari penutur asli bahasa kedua yang sedang dipelajarinya dan yang ingin mempelajari bahasa ibu atau bahasa pertama siswa tersebut, sehingga keduanya da-pat saling mengajari bahasanya masing-masing. Hal ini dapat dilakukan dengan mengakses bebe-rapa situs di Internet yang menyediakan jasa ter-sebut. Altematif lain dari metode ini adalah dengan mencari penutur asli sebagai teman berkorespon-densi. Seorang guru bahasa kedua harus mendo-rong siswanya untuk berkorespondensi dengan orang penutur bahasa kedua.
Dengan berkorespondensi siswa dapat banyak berlatih bagaimana menulis dengan konteks situasi-situasi keseharian. Selain itu siswa akan dapat bertukar fikiran dengan penutur asli bahasa kedua, memahami sikap dan perilakunya yang merupakan gambaran dan budayanya. Korespon-densi juga dapat memberikan motivasi kepada pelajar untuk melakukan perjalanan ke 0luar negeri yang merupakan metode belajar yang terakhir.


4. Melakukan perjalanan dan tinggal selama beberapa waktu di luar negeri.
Dengan melakukan perjalanan ke luar negeri atau bahkan berkesempatan untuk tinggal selama beberapa waktu di luar negeri, siswa akan dapat memahami budaya orang-orang setempat. la dapat melihat dan menyadari persamaan mau-pun perbedaan antara kebudayaan bangsanya dan kebudayaan bangsa yang bahasanya sedang ia pelajari. Selain itu perjalanan ke luar negeri juga akan membuat siswa mampu berkomunikasi menggunakan bahasa kedua dengan lebih baik dibandingkan dengan hanya mengandalkan pembelajaran bahasa kedua di dalam negeri saja, karena di lingkungan barunya ini siswa mene-mukan tak seorang pun mampu menggunakan bahasa pertamanya, sehingga ia "terpaksa" harus senantiasa menggunakan bahasa kedua untuk dapat berkomunikasi dengan orang-orang di sekelilingnya agar dapat bertahan hidup.
Terampil dalam empat ketrampilan bahasa yang berbeda yaitu berbicara dan menulis (kete-rampilan aktif) serta mendengar dan membaca (keterampilan pasif) merupakan tujuan akhir dari setiap pembelajaran bahasa kedua. Penulis ber-harap apa yang telah penulis paparkan di atas dapat membantu anda di dalam proses pembe-lajaran bahasa kedua yang sedang anda jalani. (http://www.tnial.mil.id/Majalah/Cakrawala /Artikel Cakrawala/tabid/125/articleType/ArticleView/articleId/174/PEMEROLEHAN-BAHASA -KEDUA.aspx)

5. Proses Pemerolehan Bahasa Kedua
Pemerolehan bahasa berbeda dengan pembelajaran bahasa. Orang dewasa mempunyai dua cara yang, berbeda berdikari, dan mandiri mengenai pengembangan kompetensi dalam bahasa kedua. Pertama, pemerolehan bahasa merupakan proses yang bersamaan dengan cara anak-anak. Mengembangkan kemampuan dalam bahasa pertama mereka. Pemerolehan bahasa merupakan proses bawah sadar. Para pemeroleh bahasa tidak selalu sadar akan kenyataan bahwa mereka memakai bahasa untuk berkomunikasi.
Kedua, untuk mengembangkan kompetensi dalam bahasa kedua dapat dilakukan dengan belajar bahasa. Anak-anak memperoleh bahasa, sedangkan orang dewasa hanya dapat mempelajarinya. Akan tetapi ada hipotesis pemerolehan belajar yang menuntut bahwa orang-orang dewasa juga memperoleh bahasa, kemampuan memungut bahasa bahasa tidaklah hilang pada masa puber. Orang-orang dewasa juga dapat memanfaatkan sarana pemerolehan bahasa alamiah yang sama seperti yang dipakai anak-anak. Pemerolehan merupakan suatu proses yang amat kuat pada orang dewasa. Pemerolehan dan pembelajaran dapat dibedakan dalam lima hal, yaitu pemerolehan:memiliki ciri-ciri yang sama dengan pemerolehan bahasa pertama, seorang anak penutur asli, sedangkan belajar bahasa adalah pengetahuan secara formal, secara bawah sadar, sedangkan pembelajaran sadar dan disengaja.bahasa kedua seperti memungut bahasa kedua, sedangkan pembelajaran mengetahui bahasa kedua, mendapat pengetahuan secara implisit, sedangkan pembelajaran mendapat pengetahuan secara eksplisit, pemerolehan tidak membantu kemampuan anak, sedangkan pembelajaran menolong sekali.
Pandangan pemerolehan bahasa secara alami yang merupakan pandangan kaum nativistis yang diwakili oleh Noam Chomsky, berpendapat bahwa bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia. Perilaku bahasa adalah sesuatu yang diturunkan. Hakikatnya, pola perkembangan bahasa pada berbagai macam bahasa dan budaya. Lingkungan hanya memiliki peran kecil dalam pemerolehan bahasa. Anak sudah dibekali apa yang disebut peranti penguasaan bahasa (LAD).
Pandangan pemerolehan bahasa secara disuapi adalah pandangan kaum behavioristis yang diwakili oleh B.F. Skinner dan menganggap bahasa sebagai suatu yang kompleks di antara perilaku-perilaku lain. Kemampuan berbicara dan memahami bahasa diperoleh melalui rangsangan lingkungan. Anak hanya merupakan penerima pasif dari tekanan lingkungan. Anak tidak memiliki peran aktif dalam perilaku verbalnya. Perkembangan bahasa ditentukan oleh lamanya latihan yang disodorkan lingkungannya. Anak dapat menguasai bahasanya melalui peniruan. Belajar bahasa dialami anak melalui prinsip pertalian stimulus respon.
Perkembangan bahasa anak adalah suatu kemajuan yang sebarang hingga mencapai kesempurnaan. Pandangan kognitif diwakili oleh Jean Piaget dan berpendapat bahwa bahasa bukan ciri alamiah yang terpisah melainkan satu di antara beberapa kemampuan yang berasal dari pematangan kognitif. Lingkungan tidak besar pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual anak. Yang penting adalah interaksi anak dengan lingkungannya.
Cara pemerolehan bahasa kedua dapat dibagi dua cara, yaitu pemerolehan bahasa kedua secara terpimpin dan pemerolehan bahasa kedua secara alamiah. Pemerolehan bahasa kedua yang diajarkan kepada pelajar dengan menyajikan materi yang sudah dipahami. Materi bergantung pada kriteria yang ditentukan oleh guru. Strategi-strategi yang dipakai oleh seorang guru sesuai dengan apa yang dianggap paling cocok bagi siswanya.
Pemerolehan bahasa kedua secara alamiah adalah pemerolehan bahasa kedua/asing yang terjadi dalam komunikasi sehari-hari, bebas dari pengajaran atau pimpinan,guru. Tidak ada keseragaman cara. Setiap individu memperoleh bahasa kedua dengan caranya sendiri-sendiri. Interaksi menuntut komunikasi bahasa dan mendorong pemerolehan bahasa. Dua ciri penting dari pemerolehan bahasa kedua secara alamiah atau interaksi spontan ialah terjadi dalam komunikasi sehari-hari, dan bebas dari pimpinan sistematis yang sengaja.
Di dalam kelas ada saja buah yang dapat dianggap sangat penting dan mendasar dalam proses belajar bahasa, yaitu (1) belajar bahasa adalah orang, (2) belajar bahasa adalah orang-orang dalam interaksi dinamis, dan (3) belajar bahasa adalah: orang-orang dalam responsi.
Pemerolehan bahasa bersamaan dengan proses yang digunakan oleh anak-anak dalam pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua. Pemerolehan bahasa menuntut interaksi yang berarti dalam bahasa sasaran yang merupakan wadah para pembicara memperhatikan bukan bentuk ucapan-ucapan mereka tetapi pesan-pesan yang mereka sampaikan dan mereka pahami. Perbaikan kesalahan dan pengajaran kaidah- kaidah eksplisit tidaklah relevan bagi pemerolehan bahasa, tetapi para guru dan para penutur asli dapat mengubah serta membatasi ucapan-ucapan mereka kepada pemeroleh agar menolong mereka memahaminya. Modifikasi-modifikasi ini merupakan pikiran untuk membantu proses pemerolehan tersebut.

6. Hubungan antara Pemerolehan Bahasa Pertama dan Pemerolehan Bahasa Kedua
Ciri-ciri pemerolehan bahasa mencakup keseluruhan kosakata, keseluruhan morfologi, keseluruhan sintaksis, dan kebanyakan fonologi. Istilah pemerolehan bahasa kedua atau second language aqcuisition adalah pemerolehan yang bermula pada atau sesudah usia 3 atau 4 tahun. Ada pemerolehan bahasa kedua anak-anak dan pemerolehan bahasa kedua orang dewasa.
Ada lima hal pokok berkenaan dengan hubungan pemerolehan bahasa pertama dengan pemerolehan bahasa kedua. Salah satu perbedaan antara pemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua ialah bahwa pemerolehan bahasa pertama merupakan komponen yang hakiki dari perkembangan kognitif dan sosial seorang anak, sedangkan pemerolehan bahasa kedua terjadi sesudah perkembangan kognitif dan sosial seorang anak sudah selesai, dalam pemerolehan bahasa pertama pemerolehan lafal dilakukan tanpa kesalahan, sedangkan dalam pemerolehan bahasa kedua itu jarang terjadi, dalam pemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua ada kesamaan dalam urutan perolehan butir-butir tata bahasa, banyak variabel yang berbeda antara pemerolehan bahasa pertama dengan pemerolehan bahasa. Kedua, suatu ciri yang khas antara pemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua belum tentu ada meskipun ada persamaan perbedaan di antara kedua pemerolehan.
Ada tiga macam pengaruh proses belajar bahasa kedua, yaitu pengaruh pada urutan kata dan karena proses penerjemahan, pengaruh pada morfem terikat, dan pengaruh bahasa pertama walaupun pengaruh isi sangat lemah (kecil).

7. Strategi Pemerolehan Bahasa Kedua
Perlu diingat bahwa strategi-strategi yang telah dikenal perlu dibagi ke dalam komponen-komponennya. Strategi pertama berpegang, pada semboyan: gunakanlah pemahaman nonlinguistik Anda sebagai dasar untuk penetapan atau pemikiran bahasa, Strategi ini berlangsung dan beroperasi pada tahap umum dalam karya Brown mengenai dasar kognitif ujaran tahap I. Strategi pertama ini memiliki rerata Panjang Ucapan; rata-rata (PUR) sebesar 1,75, dan Loncatan Atas (LA) sebesar 5. Adapun objek dan persona terus-menerus ada walaupun di luar jangkauan pandangan yang merupakan pemahaman nonlinguistik yang menjadi dasar atau landasan bagi pengarah bahasa atau terjemahan anak-anak terhadap ketidakstabilan atau kemudahan mengalirkan pemikiran ke dalam kategori-kategori bahasa yang lebih pasti. Penggunaan pemahaman nonlinguistik untuk memperhitungkan serta menetapkan hubungan-hubungan makna-ekspresi bahasa merupakan suatu strategi yang amat persuasif atau dapat merembes pada diri anak-anak.
Strategi kedua berpegang pada semboyan: gunakan apa saja atau segala sesuatu yang penting, yang menonjol dan menarik hati Anda. Ada dua ciri yang kerap kali penting dan menonjol bagi anak-anak kecil dan berharga bagi sejumlah kata-kata pertama mereka yaitu objek-objek yang dapat membuat anak-anak aktif dan giat (misalnya kunci, palu, kaos kaki, topi) dan objek-objek yang bergerak dan berubah (seperti mobil, jam). Sifat-sifat atas ciri-ciri perseptual dapat bertindak sebagai butir-butir atau titik-titik vokal bagi anak-anak (misalnya bayangan, ukuran, bunyi, rasa, bentuk). Anak-anak memperhatikan objek-objek yang mewujudkan hal-hal yang menarik hati ini; dan mereka memperhatikan cara menamai objek-objek itu dalam masyarakat bahasa. Perhatian anak-anak juga bisa pada unsur bahasa yang memainkan peranan penting sintaksis dan semantik dalam kalimat. Pusat perhatian tertentu bagi seorang anak mungkin saja berbeda pada periode yang berbeda pada setiap anak.
Strategi ketiga berpegang pada semboyan: anggaplah bahwa bahasa dipakai secara referensial atau ekspresif dan dengan demikian menggunakan data bahasa. Anak-anak kelompok referensial memiliki 50 kata pertama mencakup suatu proporsi nomina umum yang tinggi dan yang seakan-akan melihat fungsi utama bahasa sebagai penamaan objek-objek. Anak kelompok ekspresif memiliki 50 kata pertama secara proporsional mencakup lebih banyak kata yang dipakai dalam ekspresi-ekspresi sosial (seperti terima kasih, jangan begitu) dan lebih sedikit nama-nama objek yang melihat bahasa (terutama sekali) sebagai pelayanan fungsi-fungsi sosial efektif. Kedua kelompok anak itu menyimak bahasa sekitar mereka secara berbeda. Kelompok yang satu memperlakukan bahasa yang dipakai untuk mengacu, sedangkan kelompok yang satu lagi, kepada bahasa yang dipakai untuk bergaul, bersosialisasi. Ada tujuh fungsi bahasa yaitu fungsi instrumental, fungsi regulasi, fungsi representasi, fungsi interaksi, fungsi personal, fungsi heuristik, dan fungsi imajinatif. Fungsi instrumental bahasa berkaitan dengan pengelolaan lingkungan, mengkomunikasikan tindak. Fungsi regulasi atau pengaturan berkenaan dengan pengendalian peristiwa, penentuan hukum dan kaidah, pernyataan setuju tidak setuju. Fungsi representasi berkenaan dengan pernyataan, menjelaskan melaporkan. Fungsi interaksi berkaitan dengan hubungan komunikasi sosial. Fungsi personal berkenaan dengan kemungkinan seorang pembicara mengemukakan perasaan, emosi, dan kepribadian. Fungsi heuristik berkaitan dengan perolehan pengetahuan dan belajar tentang lingkungan. Fungsi imajinatif berkaitan dengan daya cipta imajinasi dan gagasan.
Strategi keempat berpegang pada semboyan: amatilah bagaimana caranya orang lain mengekspresikan berbagai makna. Strategi ini baik diterapkan pada anak yang berbicara sedikit dan seakan-akan mengamati lebih banyak, bertindak selektif, menyimak, mengamati untuk melihat bagaimana makna dan ekspresi verbal saling berhubungan. Strategi ini mengingatkan kepada gaya atau preferensi belajar yang berbeda pada anak-anak yang berlainan usia dalam situasi belajar yang lain pula.
Strategi kelima berpegang pada semboyan: ajukanlah pertanyaan-pertanyaan untuk memancing atau memperoleh data yang Anda inginkan, anak berusia sekitar dua tahun akan sibuk membangun dan memperkaya kosakata mereka. Banyak di antara mereka mempergunakan siasat bertanya atau strategi pertanyaan. Siasat ini seolah-olah merupakan sesuatu yang efektif, karena setiap kali dia bertanya: apa nih? apa tu? maka teman bicaranya mungkin menyediakan label atau, nama yang tepat. Suatu pola yang menarik terjadi pada penggunaan pertanyaan mengapa pada usia sekitar

8. Peranan Bahasa Pertama dalam Proses Pemerolehan Bahasa Kedua
Bahasa pertama mempunyai pengaruh positif yang sangat besar terhadap bahasa kedua sebesar 4 – 12 % dari kesalahan-kesalahan dalam tata bahasa yang dibuat oleh anak-anak berasal dari bahasa pertama, sebesar 8 – 23 % merupakan kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh orang dewasa. Mayoritas kesalahan-kesalahan tersebut lebih banyak dalam susunan kata daripada dalam morfologi. Bidang yang sangat kuat dipengaruhi oleh bahasa pertama adalah pengucapan. Anak-anak memproses sistem bunyi baru melalui pola-pola fonologis bahasa pertama pada tahap-tahap awal pemerolehan bahasa kedua, tetapi secara berangsur-angsur mereka bersandar pada sistem bahasa kedua dan aksen atau tekanan (logat) mereka pun menghilang.
Pengaruh bahasa pertama kian bertambah pada bahasa kedua jika pelajar diharapkan menghasilkan bahasa kedua sebelum dia mempunyai penguasaan yang cukup memadai terhadap bahasa barunya. Pelajar akan bergantung pada struktur-struktur bahasa pertama, baik dalam upaya komunikasi maupun terjemahan. Pengaruh bahasa pertama juga merupakan fakta dalam interaksi yang terjadi antara bahasawan bahasa pertama dan bahasa kedua.

Satu-satunya sumber utama kesalahan-kesalahan sintaksis dalam penghasilan bahasa kedua orang dewasa adalah bahasa pertama si pelaku. Ada pandangan yang menyatakan bahwa kesalahan bukan bersumber pada struktur bahasa pertama, melainkan pada latar belakang linguistik yang berbeda-beda dari bahasa kedua (B2) pelajar.
Pengaruh bahasa pertama terlihat paling kuat dalam susunan kata kompleks dan dalam terjemahan frase-frase, kata demi kata. Pengaruh bahasa pertama lebih lemah dalam morfem terikat. Pengaruh bahasa pertama paling kuat atau besar dalam lingkungan-lingkungan pemerolehan yang rendah.
Pengaruh bahasa pertama bukanlah merupakan hambatan atau rintangan proaktif, melainkan akibat dari penyajian yang justru diperbolehkan menyajikan sesuatu sebelum dia mempelajari perilaku baru itu. Pengobatan atau penyembuhan bagi interferensi hanyalah penyembuhan bagi ketidaktahuan belajar. Bahasa pertama dapat merupakan pengganti bahasa kedua yang telah diperoleh sebagai suatu inisiator atau pemrakarsa ucapan apabila pelajar bahasa kedua harus menghasilkannya dalam bahasa sasaran, tetapi tidak cukup kemampuan bahasa kedua yang telah diperolehnya. Pengaruh bahasa pertama merupakan petunjuk bagi pemerolehan yang rendah. Anak-anak mungkin membangun atau membentuk kompetensi yang diperoleh melalui masukan. Kurangnya desakan penghasilan ujaran lisan akan menguntungkan bagi anak-anak dan orang dewasa menelaah bahasa kedua dalam latar-latar formal.
Pengaruh bahasa pertama dapat dianggap sebagai sesuatu yang tidak alamiah. Seseorang dapat saja menghasilkan kalimat-kalimat dalam bahasa kedua tanpa suatu pemerolehan. Jika bahasa kedua berbeda dengan bahasa pertama, model monitor dapat dipakai dengan menambahkan beberapa morfologi dan melakukannya dengan sebaik-baiknya untuk memperbaiki susunan kata. Pemerolehan bahasa mungkin pelan-pelan, tetapi dalam jangka panjang akan lebih bermanfaat kalau bahasa dipergunakan untuk maksud dan tujuan komunikasi.

A. Input dan Interaksi dalam Proses Pemerolehan Bahasa
Seorang anak akan dihadapkan pada dua penguasaan bahasa dalam mempelajari bahasa kedua (B2) yaitu memperoleh bahasa pertama sedangkan ia sendiri akan berupaya mempelajari bahasa kedua. Bahasa antara adalah bentuk ujaran yang belum atau tidak ada modelnya pada kedua bahasa baik bahasa pertama maupun bahasa kedua, bahasa sumber maupun bahasa sasaran, bahasa ibu maupun bahasa yang dipelajari. Ideosinkresi adalah bentuk ujaran yang tidak terdapat dalam model bahasa kedua atau yang dipelajari.
Proses belajar bahasa berkembang melalui beberapa tahap. Tahap kompetensi perantara disebut kompetensi trasisional atau bahasa antara. Setiap bahasa antara mewakili satu tahap kompetensi yang berisi bentuk-bentuk yang benar maupun yang tidak benar dalam bahasa yang dipelajari. Ada empat kompetensi yakni kompetensi formal, kompetensi semantik, kompetensi berkomunikasi, dan kreativitas. Keempat kompetensi itu dikuasai secara bertahap. Ada empat pemerolehan dalam belajar bahasa yaitu menguasai bunyi bahasa, menguasai bentuk kata, menguasai kalimat, dan menguasai makna. Empat pemerolehan ini lama-kelamaan berlangsung secara otomatis dan pada akhirnya digunakan siswa untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari.
Ada tiga persoalan utama proses belajar yaitu (1) Perbedaan antara dominasi yang tak dapat dihindari, terdapat di dalam otak siswa yang mempelajari bahasa pertama dengan ketidakcakapan siswa menguasai bahasa kedua, (2) pilihan implisit-eksplisit, (3) dilema komunikasi dengan kode.
Terdapat hipotesis yang disusun dalam bagian-bagian yang berhubungan dengan komponen pemerolehan bahasa kedua yang ditinjau dari segi umum, situasi, masukan, perbedaan-perbedaan pelajar, proses-proses dan keluaran linguistik. Hipotesis segi umum ini membicarakan perihal bagaimana pemerolehan bahasa kedua, apakah mengikuti perkembangan alamiah atau tidak, dan apakah ada keragaman di antaranya, bagaimana secara vertikal dan bagaimana secara horisontal. Hipotesis segi situasi membicarakan faktor-faktor situasional yaitu siapa ditujukan kepada siapa, kapan, tentang apa, dan di mana serta apakah mempengaruhi urutan perkembangan atau tidak, apakah merupakan penyebab utama bahasa pemeroleh. Hipotesis input atau masukan membicarakan masukan dan interaksi sekaligus, apakah dapat menentukan perkembangan pemerolehan atau tidak. Hipotesis perbedaan pelajar menyangkut personalitas pelajar bahasa baik itu sikap, persepsi, minat maupun motivasi, serta apakah bahasa pertama dapat mempengaruhi perkembangan pemerolehan. Hipotesis proses-proses pelajar membicarakan bahasa antara, keuniversalan bahasa serta korolari. Hipotesis keluaran linguistik menyangkut sifat keluaran linguistik, apakah formulaik atau tidak, kreatif atau monoton, bervariabel atau tidak, dinamis atau statis, sistemis atau sistematis.

B. Kedudukan Bahasa Indonesia dalam Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia
Bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi di Indonesia. Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia mempunyai tiga fungsi, yaitu: sebagai alat pemersatu suku-suku bangsa di Indonesia, sebagai lambang kebanggaan dan identitas nasional, dan sebagai alat perhubungan antarbudaya dan antar- daerah. Dalam kedudukannya sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa resmi dalam kepentingan kenegaraan, alat perhubungan pada tingkat nasional, bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia, dan sebagai alat pengembangan kebudayaan, ilmu dan teknologi. Bahasa Indonesia merupakan mata pelajaran pokok di SD, SMTP, SMTA, bahkan sampai di perguruan tinggi.
Berdasarkan sensus penduduk tahun 1980 tercatat bahwa bahasa Indonesia dipakai sehari-hari di rumah hanya oleh 12% penduduk Indonesia, bahasa Jawa 40 %, sedangkan bahasa Sunda 15 %. Di antara 146 juta jiwa penduduk Indonesia hanya 12 % yang berbahasa Indonesia sehari-hari. Golongan umur 25 – 49 tahun merupakan kelompok umur yang tertinggi dalam pemakaian bahasa Indonesia, kelompok umur 15-24 tahun sebanyak 4.103.00 jiwa, sedangkan di kalangan anak-anak, kelompok 0-4 hanya sebesar 2.692.000 jiwa dan kelompok umur 5-9 tahun sebesar 2.446.000 jiwa.

Berdasarkan jenis kelamin penduduk, jumlah penduduk kota, laki-laki dapat berbahasa Indonesia sebesar 81% sedangkan yang perempuan 84 %. Di desa, jumlah penduduk laki-laki dapat berbahasa Indonesia adalah 60 % sedangkan yang perempuan adalah 49%.
DKI Jakarta menduduki peringkat terbaik dalam keniraksaraan, yaitu hanya 5 % sedangkan propinsi Nusa Tenggara Barat sebesar 53 %. Perolehan bahasa Indonesia dapat dilihat dari beberapa sudut yaitu sebagai bahasa pertama atau bahasa kedua, oleh orang dewasa atau anak-anak, di kota besar atau di desa.
Cukup besar perbedaan persentase anak belajar bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama dengan orang dewasa. Di kota besar 24,4 % berbanding 5 % dan di desa 16,2 % berbanding 3,2 %. Secara keseluruhan perbedaannya ialah 21,3 % untuk anak-anak dan 43 % untuk orang dewasa. Hal itu berhubungan dengan pola berbahasa masyarakat kota dan desa, yang lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia untuk media dalam berbagai lingkungan kebahasaan dan heterogenitas kebahasaan yang ada.
Di Amerika Serikat, setelah orang dan bahasa-bahasa India hampir lenyap dalam abad ke-19, ada penambahan dari tahun 1950 ke tahun 1960 dan dari tahun 1960 ke tahun 1970. Pada tahun 1975, + 17 % orang Amerika menyatakan memakai bahasa lain selain dari bahasa Inggris dalam masa kanak-kanak.
Pemerolehan Bahasa Kedua
Bagi sebagian besar anak Indonesia, bahasa Indonesia bukan bahasa pertama mereka, melainkan bahasa kedua, atau ketiga.
Pengenalan/penguasaan bahasa Indonesia dapat terjadi melalui proses pemerolehan atau proses belajar.
Proses pemerolehan terjadi secara alamiah, tanpa sadar, melalui interaksi tak formal dengan orang tua dan/atau teman sebaya, tanpa bimbingan.
Proses belajar terjadi secara formal, disengaja, melalui interaksi edukatif, ada bimbingan, dan dilakukan dengan sadar.
Bahasa Pertama (B1) dan Bahasa Kedua (B2) didapat bersama-sama atau dalam waktu berbeda. Jika didapat dalam waktu yang berbeda, Bahasa Kedua (B2) didapat pada usia prasekolah atau pada usia Sekolah Dasar.
Bahasa Kedua (B2) dapat diperoleh di lingkungan Bahasa Pertama (B1) dan Bahasa Kedua (B2). Jika diperoleh di lingkungan Bahasa Pertama, Bahasa Kedua dipelajari melalui proses belajar formal; jika didapat di lingkungan Bahasa Kedua, Bahasa Kedua didapat melalui interaksi tidak formal, melalui keluarga, atau anggota masya-rakat Bahasa Kedua.

C. Empirisme Dalam Teori Belajar B2
Teori belajar behavioris bersifat empiris, didasarkan atas data yang dapat diamati.
Kaum behavioris berpendapat bahwa proses belajar pada manusia sama dengan proses belajar pada binatang.
Kaum behavioris menganggap bahwa proses belajar bahasa adalah sebagian saja dari proses belajar pada umumnya.
Menurut kaum behavioris manusia tidak memiliki potensi bawaan untuk belajar bahasa.
Kaum behavioris berpendapat bahwa pikiran anak merupakan tabula rasa (kertas kosong) yang akan diisi dengan asosiasi antara S dan R.
Menurut pandangan mereka semua perilaku merupakan respons terhadap stimulus. Perilaku terbentuk dalam rangkaian asosiatif.
Belajar adalah proses pembentukan hubungan asosiatif antara stimulus dan respons yang berulang-ulang. Pembentukan kebiasaan ini disebut pengkondisian.
Pengkondisian selalu disertai ganjaran sebagai penguatan asosiasi antara S dan R.
Bahasa manusia merupakan suatu sistem respons yang canggih yang terbentuk melalui pengkondisian operant/belajar verbal (bahasa).

D. Rasionalisme dalam Teori Belajar B2
Teori belajar bahasa yang termasuk aliran rasionalisme ialah teori tata bahasa universal, teori monitor dan teori kognitif.
Teori tata bahasa universal mencakup seperangkat elemen gramatikal atau prinsip-prinsip yang secara alami ada pada semua bahasa manusia.
Prinsip-prinsip di atas merupakan hasil perangkat pemerolehan bahasa (LAD) yang mencakup prinsip-prinsip universal substantif dan prinsip universal formal.
Menurut Chomsky prinsip universal “ditemukan” oleh anak membentuk “tata bahasa inti” yang sama dalam semua bahasa. Di samping tata bahasa inti di dalam bahasa, ada tata bahasa “periferal” yang tidak ditentukan oleh tata bahasa universal.
Krashen mengemukakan model belajar yang disebut “model monitor” yang mencakup 5 hipotesis, yaitu hipotesis perbedaan pemerolehan dan proses belajar bahasa, hipotesis tentang urutan alamiah pemerolehan struktur gramatikal, hipotesis monitor, hipotesis masukan, dan hipotesis saringan.

Menurut Krashen, belajar hanya dapat berfungsi sebagai monitor bila disertai dengan kondisi yang memadai.
Melalui pemerolehan yang terjadi di bawah sadar anak-anak mendapatkan intuisi bahasa (rasa bahasa), yang tidak diperoleh melalui proses belajar terutama pada tahap awal.
Teori kognitif bersumber pada psikologi kognitif dan berfokus pada proses kognitif yang lebih umum. Menurut teori kognitif, belajar bahasa terjadi sebagai pemerolehan keterampilan kognitif yang kompleks. Untuk mencapai kemahiran bahasa sub-subketerampilannya harus dilatih, diotomatisasikan, diintegrasikan, dan diorganisasi-kan ke dalam sistem yang sudah dimiliki, yang selalu berubah strukturnya sesuai dengan perkembangan kemahiran.
Pada tahun 80-an Titone mengajukan model belajar bahasa yang disebut model Holodinamik (HDM). Model ini menunjukkan perpaduan ciri-cici aliran beha-viorisme dan aliran kognitif serta sangat mementingkan aspek-aspek kepribadian. Model ini mencakup tiga tingkat yaitu tingkat ego, strategi, dan taktik. 3 tahun. (http://pakdesofa.wordpress.com)

DAFTAR PUSTAKA

Krashen, Stephen D. Principle and Practice in Second Language Acquisition, Prentice-Hall International, 1987. (http://www.tnial.mil.id/Majalah/Cakrawala /Artikel Cakrawala/tabid/125/articleType/ArticleView/articleId/174/PEMEROLEHAN-BAHASA-KEDUA.aspx). Diakses Tanggal 9 Juni 2009.

http://pakdesofa.wordpress.com/ Diakses Tanggal 9 Juni 2009.

0 komentar: